Wednesday, November 14, 2007

Berhaji, Bawa Uang Berapa?




TIDAK semua jemaah yang menunaikan ibadah haji adalah orang kaya raya. Banyak dari mereka yang sejak usia muda menabung sedikit demi sedikit, dan baru dapat melunasi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) di usia tua. Oleh karena itu, mereka masih memusingkan uang bekal saat surat panggilan masuk asrama (SPMA) sudah di tangan.
SEORANG petugas di tempat penukaran uang memperlihatkan pecahan uang real di Jln. Otto Iskandar Dinata Kota Bandung, Rabu (14/11). Memasuki musim haji, penjualan real mengalami peningkatan.*ANDRI GURNITA/"PR"
Sebaliknya, terdapat beberapa jemaah yang termasuk aghniya. Mereka mampu menunaikan ibadah haji menggunakan biro perjalanan umum (BPU) plus. Maka selain di kantung celana, mereka juga menyimpan uangnya di tas tentengan, bahkan di dalam kopor-kopor pakaian. Tapi sesampainya di bandara Jeddah maupun Madinah, jemaah tersebut justru berurusan dengan keamanan bandara dalam waktu yang lama karena terlalu banyak membawa uang cash.
Lalu, jemaah mesti harus membawa uang berapa? Tentu saja jumlah uang yang harus dibawa sangat relatif, tergantung dari niat keberangkatan haji. Mereka yang menunaikan rukun Islam kelima dengan niat semata untuk ibadah tidak akan ambil pusing dengan jumlah uang yang harus dibawa. Di benaknya pasti hanya ada satu rasa, rindu bertemu dengan Sang Khalik, Allah SWT.
Sebagaimana kematian, bentuk lain pertemuan makhluk dengan Sang Maha Penciptanya, maka semua unsur duniawi ditinggalkan. Segala jenis perniagaan, tabungan, deposito, uang cash dolar, rupiah, euro, emas, intan dan berlian semua ditinggalkan. Manusia menghadap Allah hanya membawa dirinya yang berbalut kain kafan. Meski demikian, berhaji adalah pertemuan manusia dengan Sang Pencipta saat masih di dunia. Mungkin, kita masih memiliki kesempatan kembali ke tanah air, meskipun mungkin hanya nama kita yang pulang dalam catatan kematian.
Meski demikian, mungkinkah kita berangkat haji tanpa membawa uang sepeser pun? Mungkin, asalkan kita mampu mencapai kantor kabupaten/kota masing-masing secara gratis. Sebab, sebelum berangkat, jemaah berkumpul di pendopo kota atau kabupaten. Biaya ke tempat tersebut biasanya ditanggung masing-masing jemaah. Sementara dari pendopo ke asrama haji ditanggung panitia daerah.
Di asrama haji, semua biaya makan dan tempat tinggal ditanggung panitia pemberangkatan haji Indonesia (PPHI). Bahkan, di tempat ini, jemaah mendapatkan biaya hidup (living cost) sebesar RS 1.500 atau setara dengan Rp 3,75 juta. Uang inilah yang dapat digunakan sebagai bekal selama jemaah berada di kota suci. Kalau hanya digunakan untuk biaya makan dan minum --jika tidak berlebihan-- akan cukup hingga kembali ke tanah air.
Tidak disarankan berhemat dalam makan dan minum selama di Arab Saudi. Justru selama melaksanakan ibadah haji jemaah dianjurkan mengonsumsi makanan yang seimbang, bergizi, dan menyehatkan. Sebab, berhaji memerlukan kebugaran fisik yang prima. Mengurangi konsumsi air, demi penghematan misalnya, malah bisa jadi kita terserang dehidrasi.
Kalau hanya mengandalkan uang living cost, yang bisa dihemat adalah berbelanja oleh-oleh. Sama sekali tidak dianjurkan kita mengurangi makan dan minum selama di Saudi karena uangnya dibelanjakan untuk membeli buah tangan. Kalau ingin membeli berbagai souvenir, maka mau tidak mau, kita harus membawa uang tambahan di luar living cost.
Lalu, kalau membawa uang tambahan, harus membawa uang berapa? Soal ini juga relatif. Kalau di Saudi akan memborong emas, tentu kita membutuhkan ratusan juta rupiah. Tapi kalau sekadar membeli lima atau sepuluh sajadah, beberapa kilogram kurma, atau kacang khas Arab, tentu hanya dibutuhkan beberapa ratus ribu rupiah.
Tentu, membeli barang-barang seperti ini bukankah di tanah air juga banyak? Kualitasnya pun tidak kalah bagus. Tidak repot pula membawanya di jalan. Sementara kalau kita membeli di Saudi, barang-barang itu memenuhi koper, bahkan sering menumpuk di kamar-kamar tidur jemaah. Ditinggal salat pun kita was-was, masuk pesawat terkena charge. Kalau diteliti lebih seksama, barang-barang itu made ini China, sama dengan barang-barang yang kita beli di tanah air.
Pokoknya, dipakai atau tidak dibelanjakan, kita perlu membawa uang cadangan saat melaksanakan haji. Tapi uang itu dalam bentuk rupiah, dolar atau real? Uang apa pun di Saudi laku dibelanjakan, selama uang tersebut tidak dalam fluktuasi yang berat.
Ketika berbelanja di Saudi tentu kita menggunakan real. Namun uang rupiah atau dolar bisa ditukarkan di tempat penukaran uang, sharaf atau money exchanger, di Indonesia disebut money changer. Di asrama haji biasanya juga ada bank yang melayani penukaran uang ini.
Money exchanger di Saudi buka sebagaimana toko pada umumnya. Memang ada kantor yang besar, namun banyak pula yang buka sebagaimana lapak para pedagang kaki lima. Tak ada perbadaan harga yang mencolok antara penukar uang yang kecil dengan yang besar. Biasanya, pedagang tersebut duduk di atas kursi yang lebih tinggi dibandingkan para pedagang lainnya. Sebab, posisi di atas memungkinkan mereka memantau perkembangan mata uang dunia, sehinga mereka tidak menderita kerugian akibat fluktuasi mata uang.
Kalaupun tidak membawa uang cash, kita dapat menggunakan kartu kredit selama berbelanja di kota suci. Automatic teller machine (ATM) pun ada di beberapa tempat. Namun pedagang pada umumnya lebih suka menerima uang tunai daripada menggunakan kartu berbelanja. Apalagi jika mereka sedang marema, tentu dengan uang cash lebih praktis daripada harus menggesek-gesek kartu.
Sekali lagi, berhaji berarti kita menjadi tamu Allah (Dhuyufurahman). Tujuan kita adalah menghadap Allah sebagai hambanya-Nya yang taat. Kita datang bukan bertamu kepada swalayan, bukan pula tamunya barang bawaan. Selamat menunaikan ibadah haji. (Wakhudin/”PR”)***

No comments: