Friday, November 09, 2007

Mahameru, ke Puncakmu Kami Menuju


Di kalangan para pendaki dan penggiat alam, Gunung Semeru atau biasa disebut Mahameru merupakan nama keramat. Maklumlah, selain cerita-cerita mistis melingkupi keberadaan gunung ini, juga karena cukup banyak para pendaki yang meninggal saat mendaki.
Bahkan, dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang gunung ini. Gunung Mahameru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung antara bumi (manusia) dan Kayangan.
Gunung ini juga dipercaya sebagai Bapak Gunung Agung di Bali. Setiap 8-12 tahun sekali dilakukan upacara sesaji di puncak Mahameru. Ada mitos, kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak Mahameru.
Di luar urusan metafisik, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3627 dpl) ini konon juga memiliki keindahan alam yang tiada dua. Tak heran, jika grup band ternama Dewa 19 sampai khusus membuat lagu untuk melukiskan kebesaran Mahameru.
Pada Sabtu pagi (5/6), akhirnya kami (anggota milis Pangrango) sampai juga ke sana, ke atap Pulau Jawa yang berada di wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dengan posisi geografis terletak antara 8°06 LS dan 120°55 BT.
* * *
Perjalanan diawali dari daerah Tumpang, sebuah kecamatan di Malang yang terletak di kaki Gunung Semeru.
Pendaki dari Jakarta bisa mencapai daerah Tumpang dari terminal Arjosari-Malang dengan waktu tempuh 30 menit menggunakan angkutan kota. Untuk melengkapi kebutuhan logistik, di pasar Tumpang kami sempatkan untuk berbelanja sayuran dan sejumlah bumbu masakan.
Tujuan selanjutnya adalah Desa Ranupani yang merupakan desa terakhir di kaki gunung Semeru. Para pendaki harus menggunakan jeep untuk sampai ke tempat ini. Ongkos carter jeep sebesar 200 ribu. Untuk menghemat, kami bergabung dengan rombongan pendaki lain sehingga masing-masing orang hanya mengeluarkan uang Rp 16 ribu.
Jeep yang kami tumpangi meninggalkan Tumpang sekitar pukul 13.30 WIB. Kami berhenti sebentar di pos pendaftaran Gubuk Klakah, karena demikianlah memang aturannya. Bahwa setiap pendaki harus mendaftarkan diri, membayar beaya asuransi Rp6.000, dan menyerahkan dua fotocopy KTP sebelum mendapatkan surat jalan.
Setelah membereskan urusan administrasi perjalanan, kami lanjutkan kembali. Di atas jeep yang bergoyang kencang kami menikmati keindahan panorama alam. Sementara di sisi kanan dan kiri kami adalah jurang yang cukup dalam dengan pepohonan yang rimbun. Nun di kejauhan, tampak tebing-tebing yang tinggi menjulang.
Ketika jeep melintasi beberapa desa, terlihat buah apel yang ditanam penduduk di pekarangan rumah mulai ranum. Hmm..., kedamaian khas yang biasa terpancar dari alam pedesaan nan sejuk.
Siang itu langit tampak cerah, namun angin yang dingin serasa menggigit hingga ke tulang. Mulailah kami berpegangan erat ke sisi-sisi jeep, ketika kendaraan buatan Inggris itu melonjak-lonjak oleh jalanan berbatu. Meski terasa ngeri, masih juga sesekali terdengar gelak tawa bila ada seorang teman terjatuh ke lantai karena genggamannya pada sisi bak jeep terlepas.
Setelah tiga jam perut terasa diaduk, kami pun sampai di desa Ranupani. Selanjutnya, setiap pendaki harus menyerahkan surat jalan dari pos Gubuk Klakah.
Kami mulai packing ulang barang bawaan dengan segera, karena rombongan dilarang mendaki selepas jam lima sore. Sebab, setelah lepas jam lima, kabut mulai turun dan akan mudah membuat pendaki tersesat.
Sebelum memulai pendakian kami berdoa sejenak. Tepat pukul lima, kami memulai perjalanan. Sepuluh menit berjalan, kami sudah sampai di batas ladang dan hutan.
Jalur selanjutnya mulai menanjak, cukup sebagai pemanasan sebelum kami sampai di gigir gunung yang kian curam. Selepas tanjakan, jalur mulai landai, cuaca yang mulai gelap membuat kami tidak dapat berjalan cepat, apalagi kami berjalan menyisir bukit dengan jurang yang dalam di sisi kanan. Ilalang liar menutupi jalur sampai setinggi dada, terkadang kami harus menunduk melewati pohon-pohon yang melintang, kami menyebutnya sebagai ’portal’.
Kabut yang turun malam itu cukup tebal, sehingga menurunkan uap air seperti gerimis. Kami sempat berhenti sebentar untuk menggunakan jas hujan. Beban berat di pundak dan cuaca dingin sempat menurunkan semangat kami. Terlebih, karena Danau Ranukumbolo yang menjadi tujuan berikut belum juga terlihat. Namun kami terus membulatkan tekad, bergantian kami menguatkan semangat anggota tim yang berjumlah lima orang perempuan dan satu laki-laki tersebut.
Setelah Danau Ranukumbolo, lalu Tanjakan Cinta
dok. pribadi
Tanjakan Cinta yang menguras fisikSetelah lima jam berjalan, akhirnya kami sampai di Danau Ranukumbolo. Cuaca dingin membekukan tulang. Dengan cepat kami mendirikan dua buah tenda sebelum akhirnya kami mesti buru-buru giliran mengganti pakaian kami yang kuyup oleh kabut dengan pakaian kering. Jika ini tak dilakukan, jelas kami akan mengalami hypotermia (kedinginan). Perut telah terisi, dan tiap anggota rombongan telah melapisi diri dengan penghangat badan, seperti jaket, sarung tangan, kaus kaki, kami pun segera meringkuk di dalam kantung tidur dan terlelap.
Ketika terbangun pada pukul delapan pagi, kami langsung keluar tenda. Kami berharap akan menemukan pesona Ranukumbolo di bawah sana dengan airnya yang berkilat-kilat di sepuh matahari pagi.
Namun...ah, Ranukumbolo ternyata masih berselimut kabut. Matahari nampak malu-malu dan memilih bersembunyi di balik awan. Sedikit gemetaran kami mencoba meluruskan kaki dan berjalan-jalan di sekitar danau.
Ranu Kumbolo yang membentang seluas 12 hektar, dikelilingi perbukitan yang hijau oleh rerumputan serta hutan cemara. Danau ini juga memiliki banyak ikan. Karenanya, banyak pendaki yang meluangkan waktu berlama-lama di danau ini sambil memancing.
Pada musim kemarau seperti Juli-Agustus-September cuaca di sekitar danau bisa mencapai minus lima derajat. Embun pagi akan berubah menjadi bunga-bunga es. Ah.. keindahan yang mematikan tentunya bagi mereka yang tak tahan dengan udara dingin.
Cuaca semakin hangat seiring menipisnya kabut di atas danau. Selesai makan dengan menu sup dari bahan sayuran serta bumbu yang kami beli di pasar Tumpang, perjalanan pun kami lanjutkan.
Langkah terasa berat karena kami harus melewati tanjakan yang cukup panjang dan tinggi. Percaya atau tidak, nama tanjakan ini adalah Tanjakan Cinta. Entahlah siapa yang awalnya memberi nama. Konon, bila kita mendakinya tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, segala keinginan kita soal percintaan akan tercapai. Tetapi ini tidak mudah. Cuma mereka yang memiliki fisik super-prima sajalah yang sanggup melakukan pekerjaan itu dengan sempurna: berjalan tegak mendaki bukit tanpa menoleh ke belakang.
Sesampainya di puncak bukit, segera terlihat pepohonan yang rimbun. Tempat ini cocok untuk melepas lelah setelah melewati tanjakan cinta. Pemandangan terhampar indah dengan Ranukumbolo yang selalu dipayungi kabut. Di arah depan, savana luas dengan perbukitan gundul di sekililingnya. Itulah Savana Oro-oro Ombo.
Titik selanjutnya yang ingin kami capai adalah Kalimati. Jalur setelah Oro-oro Ombo cukup bervariasi. Terkadang landai melewati tanah berdebu, lalu menanjak, sebelum akhirnya memasuki hutan cemara yang berpohon tinggi namun berdaun jarang sehingga panas matahari tetap mengenai kulit.
Menjelang Kalimati kami sampai di Blok Jambangan. Dari sini puncak Mahameru terlihat jelas dengan jalurnya yang berpasir. Kami melepas penat di tempat ini sambil menunggu letusan wedhus gembel. Di Jambangan ini banyak terdapat tumbuhan eidelweis karena sudah berada pada ketinggian 3200 dpl.
Kami membuka tenda di lembah Kalimati dengan pertimbangan lebih dekat ke mata air selain itu di Arcopodo banyak pendaki yang sudah tiba terlebih dahulu sehingga kami khawatir tidak ada tempat kosong untuk tenda kami. Jika beruntung di Kalimati ini kita bisa melihat binatang liar seperti macan.
Mahameru, ke puncakmu kami menuju
dok. pribadi
Di puncak Mahameru dengan latar belakang wedhus gembelKami agak terlambat menuju puncak, karena baru berangkat pukul dua pagi. Idealnya untuk pendaki yang berangkat dari Kalimati adalah sekitar pukul 12 malam. Setelah membawa perbekalan secukupnya seperti air minum dan makanan kecil, kami berjalan menuju Arcopodo. Untunglah saat itu bulan terang bersinar sehingga kami cukup terbantu melihat jalur yang curam dan rawan longsor tersebut.
Arcopodo berada pada ketinggian 2.900 dpl, merupakan batas vegetasi. Sehabis ini tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. Yang ada hanya pasir dan bebatuan saja, kecuali satu pohon cemara yang disebut Cemoro Tunggal. Dinamakan Arcopodo karena dulu ada dua buah arca, Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun sayang, arca-arca itu kini telah hilang.
Selepas Arcopodo, kami sampai di batas hutan yang bernama daerah Kelik. Di daerah ini banyak terdapat batu peringatan korban yang meninggal di Mahameru. Kami memandang ke arah atas, tampak lampu-lampu senter beriringan milik para pendaki yang telah berangkat lebih awal.
Dalam dinginnya udara, kami melanjutkan pendakian mendaki lereng Semeru yang berpasir dengan kemiringan 50-60 derajat. Pendakian menuju puncak benar-benar menguras fisik dan mental kami. Oleh karena itu kami harus pintar-pintar memilih pijakan kaki jika tidak ingin terperosok ke dalam jurang. Tenaga kami kerahkan ketika berjalan di pasir karena setiap tiga langkah pasti mundur selangkah. Hanya mereka yang bermental kuat yang dapat menaklukkan Puncak Mahameru.
Pukul delapan pagi, kami tiba di Puncak Mahameru. Rasa haru menyelimuti, sujud syukur kami lakukan kepada Tuhan Sang Pencipta atas keindahan yang terdapat di sekeliling kami. Di antara gumpalan-gumpalan awan tampak puncak-puncak gunung di sekitar Mahameru. Di timur terlihat pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Di arah barat berdiri angkuh puncak Gunung Arjuna, Welirang, Anjasmoro dan Gunung Kawi. Bagian Selatan, Gunung Bromo dengan pesona kawahnya yang selalu mengeluarkan cahaya putih. Lebih ke Selatan, terlihat deburan ombak Laut Selatan. Bagian Utara, bentangan samudera terlihat lebih dekat lagi, buih putih ombaknya begitu jelas dari tempat kami berdiri.
Suara letupan tiba-tiba terdengar diiringi gumpalan asap pekat bercampur debu yang di kalangan pendaki disebut wedhus gembel. Peristiwa ini memang yang paling kami tunggu. Cepat kami keluarkan kamera untuk mengabadikannya. Kami begitu menikmati suasana di puncak, melihat keindahan Pulau Jawa. Namun keinginan untuk berlama-lama harus pupus karena di atas pukul 10 pagi, letusan mahameru akan disertai gas beracun yang dapat membuat pendaki mati lemas.
Jalur turun sampai Kelik kami tempuh kurang dari satu jam. Suatu keasyikan tersendiri melewati pasir sambil berlari-lari kecil seperti sedang main ski. Kami berlomba untuk lebih dulu sampai di bawah.
Sampai di Kalimati kami langsung makan dan packing karena kami ingin meneruskan perjalanan langsung ke Ranupani mengingat waktu cuti yang terbatas. Perasaan puas dan bahagia karena telah mencapai atap Pulau Jawa membuat semangat kami timbul kembali, sehingga perjalanan pulang terasa lebih ringan.
Tim sempat melepas lelah cukup lama di Oro-oro Ombo. Sore itu suasana savana memang cantik dengan sinar matahari yang berpendar dari balik bukit, rasa penat sekejap hilang menyaksikan rumput-rumput liar dan bunga-bunga ungu bergoyang seirama angin senja.
Puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan melewati Ranukumbolo yang sore itu ramai dengan tenda-tenda para pendaki yang memilih menginap semalam lagi ditempat itu. Mengingat cuaca makin gelap kami percepat langkah kami.
Sekitar pukul 12 malam rombongan sampai di Ranupani dan langsung memesan kamar untuk beristirahat. Pagi sebelum pulang kami menyempatkan diri menikmati keindahan danau Ranupani yang terletak tepat di depan guesthouse. Siang itu kami kembali berada di atas jeep yang mengantar kami sampai ke Tumpang, untuk selanjutnya meneruskan pulang ke Jakarta.
Meski tinggal bayang-bayang, kenangan atas Mahameru tetap menjadi kenangan yang tiada pernah akan terlupa, sepanjang hayat! (Lusia Kus Anna)

No comments: