Friday, May 02, 2008

Cara Mittal Menguasai Metal


Hingga kini, semua juragan besi tua di Surabaya, umumnya orang Madura, mengenal Lakshmi Narayan Mittal, 65 tahun. Pabrik bajanya, Ispat Indo di Desa Kedungturi, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah terminal akhir bagi para pengepul lokal di Jawa Timur itu. Bagi mereka, Mittal adalah partner sejati yang sepanjang 30 tahun telah membangun kepercayaan imbal balik. Kepiawaian Mittal dan orang Madura dalam bisnis besi tua membentuk kombinasi yang klop. Tanpa pasokan besi tua secara rutin, boleh jadi Ispat Indo tak berkembang secepat itu.Pabrik besi itulah yang menjadi pijakan ekspansi bisnis baja Lakshmi Mittal ke seluruh dunia. Selama 13 tahun, pabrik baja itu dikelola dengan sentuhan tangannya secara langsung. Setelah membesarkan perusahaan pertamanya itu, sukses berikutnya datang susul-menyusul. Kini popularitas Lakshmi Mittal jauh meninggalkan Indonesia dan Sidoarjo. Puluhan industri baja berskala internasional yang tersebar di 17 negara kini ada di genggaman tangannya. Ia kini menjadi konglomerat baja terbesar di dunia.Ispat Indo adalah debut Mittal di luar India. Pada 1976, alumnus St. Xavier's College, Calcutta, India, itu membeli pabrik baja tidak sehat, Andra Steel, yang areal pabriknya seluas delapan hektare. Pabrik yang kodisinya kembang-kempis itu kemudian digarapnya menjadi pabrik yang sehat, dengan kapasitas produksi 60.000 ton per tahun. Dalam perkembangannya, performa pabrik itu terus mengalami peningkatan, sehingga kini mampu memproduksi baja 700.000 ton per tahun.Cerita manis Ispat Indo adalah awal yang indah bagi Lakshmi Mittal, yang ketika itu hanya anak kemarin sore dari Calcutta di bisnis baja. Mittal muda, yang bahasa Inggrisnya masih patah-patah, datang bersama istrinya, Usha, yang pada saat itu berusia 26 tahun. Bagi Mittal, pabriknya di Indonesia itu punya sejarah dan arti tersendiri karena merupakan pijakan pertamanya. Pabrik itu pula yang memberi arah hidup dan membuka jalan sukses baginya.Setelah Ispat Indo, semua pabrik baja yang diakuisisinya diberi nama depan "Ispat", yang dalam bahasa India berarti baja. Perusahaan induknya kini bernama Arcelor-Mittal, yang kapasitas produksinya mencapai 14 juta ton per tahun, setara dengan 52 kali kapasitas produksi Krakatau Steel pada saat ini. Ayah dua anak, Aditya Mittal dan Vanisha Mittal, itu berhasil mendirikan dinasti baja kelas dunia. Ayahnya, Mohan Lal Mittal, sebelumnya merintis jalan di bidang ini di India, tapi kurang berhasil.Dari Sidoarjo, Mittal terbang jauh ke Trinidad dan Tobago pada 1994. Di negara kepulauan yang terletak di pantai timur Amerika Tengah itu, ia mengakuisisi perusahaan baja milik pemerintah setempat, Iscoot, yang harganya jatuh, didera kesulitan likuiditas karena salah urus. Seperti biasa, rasionalisasi karyawan menjadi jurus pertamanya. Setelah itu, manajemen dibenahi, produksi dan pemasaran digenjot. Hasilnya, uang mengalir. Semuanya dikerjakan oleh tim yang diterbangkan khusus dari India.Dari Trinidad dan Tobago, hoki Mittal berlanjut. Kali ini, sasaran ekspansinya ke Meksiko. Dengan cadangan pundi-pundinya yang makin melimpah, ia mengakuisisi Sicartsa, perusahaan baja milik pemerintah, yang juga tengah dirundung masalah. Di sinilah Mittal mendapat "jackpot".Pabrik baja dengan teknologi tinggi dan investasi sebesar US$ 2,2 milyar itu jatuh ke tangannya hanya dengan mahar US$ 220 juta. Mittal memanfaatkan situasi perekonomian Meksiko yang sedang kolaps karena booming minyak mereka berakhir pada 1990. Akibatnya, pemerintah membutuhkan dana cash cepat dan memprivatisasi Sicartsa secara tergesa-gesa.Setelah jatuh ke Grup Mittal, perusahaan itu kemudian diberi nama baru, Ispat Mexicana, yang berpusat di Lazaro Cardenas. Belakangan, namanya berubah menjadi Mittal Steel Lazaro Cardenas, yang menjadi tulang punggung produksi baja Kelompok Mittal Steel di seluruh dunia. Produksinya mencapai 6,7 juta ton per tahun. Daftar perusahaan baja yang dibelinya terus bertambah panjang, hingga menyebar ke 17 negara, seperti Meksiko, Kanada, Jerman, Irlandia, Inggris, Amerika Serikat, Kazakstan, dan Polandia.Kini tak ada benua yang absen dari jaringan bisnis Arcelor-Mittal. Lewat kantor pusatnya di London, semua roda bisnisnya di seluruh dunia digerakkan. Arcelor-Mittal adalah nama baru holding company keluarga Mittal, yang semula bernama Ispat International dan Mittal Steel. Di holding baru itu, Lakshmi Mittal duduk sebagai chief executive officer. Nama Arcelor-Mittal didapat setelah Mittal mengakuisisi pabrik baja terbesar di Eropa, Arcelor, yang berlokasi di Luksemburg. Pabrik raksasa ini sebelumnya dimiliki bersama antara Pemerintah Prancis, Belgia, dan Spanyol.Jaringan bisnis keluarga Mittal terbagi dua. Bila di luar India dikendalikan Arcelor-Mittal, yang di India dikelola dua adik laki-lakinya, Pramod Kumara Mittal dan Vinod K. Mittal, dengan nama Global Steel Holdings. Namun holding ini tidak lagi mau bermain di kandang. Ia telah pula menggurita ke Afrika dan Eropa. Dengan jaringan seluas itu, kemenangan Mittal di bisnis baja kini tak terbendung lagi. Majalah Forbes, New York, menempatkan Lakshmi Mittal di peringkat keempat orang terkaya di dunia, dengan hartanya senilai US$ 45 milyar.Selain gelimang dolar, setumpuk apresiasi diraihnya dalam bidang baja dan bisnis. Antara lain Business Person of 2006 dari the Sunday Times, International Newsmaker of the Year 2006 dari majalah Time, dan Person of the Year 2006 dari koran Financial Times. Dari kalangan industri baja, ia mendapat penghargaan bergengsi, Willy Korf Steel Vision Award (1998) dan American Metal Market and PaineWeber's World Steel Dynamics.Ciri utama kelompok bisnis Mittal dalam memperluas jaringannya adalah dengan mengakuisisi pabrik baja lain yang kondisinya tidak cukup bagus atau yang pertumbuhannya mandek. Setelah membeli dengan harga murah, Mittal melakukan penertiban dan mengelola dengan manajemen baru yang sangat disiplin. Di tangan timnya, perusahaan-perusahaan yang sebelumnya bermasalah disehatkan dalam waktu singkat. Dengan ekspansi yang agresif ke seluruh dunia, bisnis Mittal berkembang cepat.Kelompok industri Mittal merambah negara-negara maju dan menguasai pabrik-pabrik terbesar di dunia. Mittal, yang dulu besar di rumah berlantai tanah, kini tinggal di Kensington Palace Gardens di London, kawasan yang dikenal sebagai kompleks jutawan dunia. Ia bertetangga dengan makhluk tajir lainnya, seperti Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei.Layaknya konglomerat dunia, Mittal juga seorang filantropis. Ia mendirikan Yayasan LNM Group untuk memberikan bantuan di bidang pendidikan dan kesehatan bagi orang-orang miskin, terutama di India. Di Aceh, konglomerat ini pernah merogoh kocek US$ 500.000 untuk kemanusiaan setelah tragedi tsunami.Tingginya pohon bisnis Mittal membuat angin makin kencang menerpa. Di berbagai tempat yang disentuhnya, muncul resistensi yang makin tinggi. Pada 2002, Lakshmi Mittal menjadi bahan berita dengan skandal “Garbagegate”. Ini skandal suap ke Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Pada saat itu, Mittal memerintahkan transfer sebesar US$ 2 juta ke rekening Partai Buruh pimpinan Tony Blair. Ini bukan sumbangan kemanusiaan. Kompensasinya, Tony mendorong Pemerintah Rumania agar mengeluarkan kebijakan melepas pabrik baja andalannya, Sidex, kepada Mittal Steel.Skandal itu pertama kali diungkap anggota parlemen Inggris, Adam Price. Senator ini membeberkan copy surat Blair kepada pimpinan Rumania pada saat itu. Kepada pimpinan Rumania, Blair meminta industri baja nasional mereka, Sidex, dilepas ke Mittal's LNM Steel Company, yang ketika itu tengah mengajukan penawaran bersama beberapa peminat lainnya.Kepada Perdana Menteri Rumania ketika itu, Adrian Nastase, Tony Blair memberi sinyal bahwa langkah melepas Sidex kepada Mittal's LNM itu akan makin mendekatkan Rumania sebagai anggota Uni Eropa. Dalam suratnya itu, Tony Blair menyebutkan bahwa Mittal adalah "seorang teman".Di dalam negeri Inggris, skandal itu cukup menghebohkan, meski tak sampai menggulingkan rezim Tony Blair. Mittal Steel pada saat itu adalah perusahaan baja terbesar keempat di dunia dan merupakan saingan utama British Steel di pasar Eropa.Langkah Perdana Menteri Tony Blair itu dianggap menodai nasionalisme. Namun kasus ini akhirnya redup, dan Sidex benar-benar jatuh ke tangan Mittal. Dalam menguasai industri yang dicaploknya, Mittal menggunakan modus yang sama. Dibeli pada saat harga jatuh, diobok-obok agar mitranya yang masih ada di perusahaan itu kelojotan, diambil alih penuh, baru disehatkan.Skema itu biasanya didahului satu hal: lobi tingkat tinggi. Lihat saja Sidex. Sebelum dibeli Mittal dari Pemerintah Rumania, pabrik baja ini mampu berproduksi 5 juta ton per tahun. Denyut nadi pabrik ini menghidupi 150.000 warga kota Galati. Ketika terjadi krisis moneter pada 1990, Sidex rugi 175 juta poundsterling. Namun, menurut perhitungan, total asetnya masih mencapai US$ 1,1 milyar pada saat diakuisisi.Melalui negosiasi intensif selama lebih dari lima bulan, Mittal LNM Holdings mengakuisisi 90% saham Sidex dengan komitmen pembayaran tunai. Namun pada akhirnya Mittal hanya membayar US$ 70 juta. Komitmen menyelamatkan 27.000 karyawan dan menggelontorkan dana segar ternyata tidak sepenuhnya ditepati. Sebanyak 7.400 pekerja Sidex dipecat setelah akuisisi itu. Anehnya, Perdana Menteri Rumania, Calin Popescu Tariceanu, mengatakan bahwa privatisasi Sidex merupakan contoh bagaimana privatisasi bisa mengubah "lubang hitam" menjadi rencana yang menguntungkan.Proses akuisisi oleh kelompok usaha Mittal, tak bisa dimungkiri, kerap menimbulkan efek samping. Di berbagai belahan dunia, gejolak selalu timbul mengiringi masuknya raksasa India ini. Di Afrika Selatan, LNM Holdings membeli perusahaan baja lokal milik pemerintah, Iscor, pada 2001. Namun, dalam proses akuisisinya, terjadi banyak keruwetan. Belakangan, Mittal South Africa diancam penalti US$ 96 juta karena dituding melakukan pengaturan harga (price fixing). Kasusnya kini masih ditangani otoritas setempat.Di Indonesia, jejak Mittal juga dinodai isu miring. Di Surabaya, Ispat Indo mengakuisisi Pabrik Paku Sidoarjo, sehingga menyebabkan gangguan pada bagian hilir, yaitu industri paku. Di sebagian negara, manajemen Mittal menimbulkan benturan budaya. Di Aljazair, industri baja Sider, yang diakuisisi pada 2006, mendapat protes keras dari karyawannya. Pasalnya, Mittal menetapkan libur bagi karyawannya hari Jumat-Sabtu. Padahal, tradisi muslim lokal selama ini memilih Kamis-Jumat sebagai hari libur.Protes dan ancaman mogok menguat setelah Mittal mengumumkan pengurangan 1.200 dari 8.000 karyawannya. Dengan beberapa kejadian yang ada, tak mengherankan jika resistensi terhadap Mittal timbul di mana-mana. Awal bulan ini, Presiden Nigeria, Umaru Yar'Adua, membatalkan penjualan pabrik bajanya, Ajaokuta Steel Company. Presiden Nigeria yang baru itu menggunting komitmen Mittal dengan Presiden Nigeria sebelumnya, Olusegun Obasanjo, karena menduga ada praktek tidak sehat dalam proses akuisisi itu.Pramod Mittal, salah satu saudara Lakshmi Mittal, mengakuisisi pabrik baja yang telah berumur 27 tahun itu melalui bendera The Global Steel Infrastructures Holding Limited (GIHL). Namun pemerintah setempat mencium indikasi bahwa GIHL ternyata tidak menanamkan investasi. Ia hanya meminjam uang US$ 192 juta dari Bank Nigerian, dengan jaminan Ajaokuta Steel itu sendiri. Pihak Mittal juga akan melepas obligasi senilai US$ 3 juta. Selain itu, ada kecurigaan bahwa penguasaan ini akan menyebabkan monopoli dan merusak harga pasar baja Nigeria.Di Indonesia, penolakan serupa juga terjadi. Ketika pemerintah memberi lampu hijau kepada Mittal untuk masuk ke Krakatau Steel (KS), manajemen perusahaan itu langsung menyatakan keberatan. Komisaris Utama KS, Taufiequrachman Ruki, menilai privatisasi KS ke pengusaha India itu mengandung bahaya. Menurut mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, di Rumania, Aljazair, Prancis, dan Nigeria, tempat Mittal masuk dengan cara yang sama, menimbulkan masalah denasionalisasi industri baja mereka dan terjadi gejolak tenaga kerja.Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy, kata Ruki, sampai harus mengeluarkan US$ 40 juta untuk menghidupkan kembali pabrik bajanya yang ditutup Mittal di Granrage. Langkah Mittal mengakuisisi sejumlah pabrik baja di dunia, kata dia, berdampak negatif pada buruh dan pertumbuhan ekonomi. Sekitar 3.600 karyawan baja di Rumania mogok karena pemotongan gaji oleh Mittal.Ruki juga mengungkapkan keluh kesah Presiden Aljazair yang pernah diundang direksi dan komisaris KS, tahun lalu. Ruki mengajak semua pihak juga menilai bagaimana rekam jejak pengusaha India itu. "Di Bekasi, investasi mereka bermasalah, bahkan manajer mereka di- DPO (dimasukkan dalam daftar pencarian orang --Red.) oleh Polri," ujarnya.Menurut Ruki, pengusaha India itu bukan ingin memajukan industri baja, melainkan hanya mau mengusai pasar untuk kepentingan pabriknya yang ada di India. Jangan sampai, lanjut Ruki, privatisasi KS bernasib seperti Indosat atau Jakarta Container Terminal, yang justru belakangan disesali. Namun teriakan Ruki agaknya kurang keras, sehingga tak terdengar sampai ke istana. Kamis pekan lalu, Lakshmi Mittal bertandang ke Istana Presiden.Jutawan India itu mempresentasikan rencana pembangunan pabrik baja terintegrasi berkapasitas 5 juta ton per tahun, dan akuisisi KS masuk sebagai salah satu agendanya. Selain itu, Mittal berencana menginvestasikan sebagian kekayaannya untuk menggarap bisnis hulu, bekerja sama dengan PT Aneka Tambang. Keduanya akan menggarap industri tambah bijih besi sebagai bahan baku utama industri metal baja. Beberapa tempat di Kalimantan telah disurvei.Mujib Rahman, dan Nur Kholis Zaein (Surabaya)[Laporan Utama, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008]

No comments: