Friday, August 25, 2006



TERDENGAR dentuman yang sangat keras, lalu langit Pelembang gelap gulita. Debu turun tiada henti. Rentetan letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda itu puncaknya terjadi pada tanggal 27 Agustus 1885 pukul 10.02 dan 10.52. Dentumannya terdengar hingga di Australia. Batu apung dan debunya dilontarkan ke angkasa hingga mencapai ketinggian 80 km. Abu yang melayang-layang itu telah menurunkan suhu selama dua tahun. Abunya kemudian jatuh di kawasan seluas 827.000 km2.
Dentumannya terdengar sampai ke Sri langka dan Karaci (di barat). Dan ke timur sampai ke Perth dan Sydney. Abu letusan yang disemburkan ke angkasa lalu menyebar ke sebagian besar dunia. Cahaya matahari menjadi redup. Warna matahari terlihat hijau, kadang merah, atau kuning.
Abu Krakatau memenuhi atmosfer, sehingga memengaruhi cahaya matahari. Kejadian di Surabaya, misalnya, matahari terlihat berwarna kuning beberapa hari. Sedangkan di Tokyo Jepang, warna matahari menjadi merah tembaga. Empat bulan setelah letusan Krakatau, warna matahari yang terlihat dari Hong kong berubah-ubah secara mengejutkan. Kadang hijau, merah, kemudian hijau kembali. Sedangkan di Missouri Amerika, 6 bulan setelah letusan, matahari menjadi kuning dengan dikelilingi lingkaran warna hijau.
Willard Person Wayne memperkirakan besarnya letusan Gunung Krakatau saat itu mencapai 21.428 kali bom atom yang diledakkan di atas Los Alamos tahun 1945. Energi yang dipancarkannya sebesar 0,019 mega ton. Besarnya letusan Gunung Krakatau 1883 mencapai 6 VEI-Volcanic Explosivity Index (Tom Simkin, 1981). Sebagai bandingan, letusan Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1982-1983 hanya berada pada level 2-3 VEI.
Letusan maha dahsyat itu telah meruntuhkan tubuh gunungnya ke dalam laut. Ambruknya tubuh gunung seluas 18 km2 itulah yang telah menimbulkan tsunami raksasa yang menyapu pantai Banten dan Lampung. Menurut Matahelumual (1992), tsunami Krakatau itu bukan hanya akibat runtuhnya tubuh gunung, namun berbarengan dengan itu terjadi pula gempa tektonik yang berpusat di Selat Sunda.
Tsunami yang menyapu pantai Banten dan Lampung itu telah menewaskan 36.417 orang. Sebanyak 165 kampung dan dusun musnah, dan 132 lainnya hancur sebagian.
Napi berzikir
Kisah nyata Ny. Lindeman yang berada di Kapal Loudon dengan posisi di Selat Sunda saat terjadi letusan Krakatau, akan menambah penghayatan kita terhadap bencana tersebut.
Pagi sekitar pukul 7.00 tiba-tiba datang gelombang yang sangat besar dan semakin dekat dengan kapal. Kapal kami seperti dinding terjal yang menjulang tinggi. Gelombang sudah sangat dekat. Tiba-tiba kapal terasa seperti tercampakkan dan terbenam ke jurang air yang sangat dalam. Gelombang segera berlalu, Loudon terbebas dari malapetaka.
Pagi itu kami juga menyaksikan gelombang seperti air terjun raksasa yang dahsyat mengamuk dan menerjang kota Telukbetung. Tiga kali gelombang beruntun menghancurkan ibu kota Keresidenan Lampung. Kami menyaksikan bagaimana mercusuar patah, dan menyaksikan bagaimana dahsyatnya gelombang menyapu pemukiman penduduk.
Kapal Berauw ternyata diterbangkan ke dataran tinggi. Dari tempat kami berdiri, diperikirakan setinggi pohon kelapa. Telukbetung yang indah, untuk beberapa saat menjelma menjadi bagian dari laut, dengan keadaan yang sulit dilukiskan.
Kejadian-kejadian itu berjalan sangat cepat, dengan tiba-tiba, dan tak terduga. Terjadi pemusnahan yang sukar ada tandingannya dengan menelan korban jiwa.
Karena Telukbetung tak bisa dihubungi dari laut, akhirnya nakhoda Loudon mengambil keputusan untuk memutar haluan, balik lagi ke Anyer, guna menyampaikan laporan mengenai apa yang terjadi di Telukbetung.
Semua penumpang Loudon merasa beruntung, dan sangat bersyukur, mereka telah terhindar dari maut. Pada malam yang mengerikan itu, air laut bergelombang raksasa, sehingga penumpangnya tak jadi turun karena kapal sulit untuk merapat.
Walau baru jam 11.00, hari semakin gelap, bahkan tangan sendiri pun tak tampak. Keadaan ini berlangsung selama 18 jam. Dalam kegelapan itu turun hujan lumpur yang menimbun kapal setebal setengah meter. Lumpur gunungapi ini telah menutupi lubang telinga, mulut dan hidung, sehingga pernapasan menjadi sangat terganggu.
Laut bergejolak hebat. Angin kencang berubah menjadi topan, menjadi puting beliung. Terjadi serangkaian gempa laut. Gelombang raksasa terus mengancam. Gelombang yang sangat besar telah menyebabkan Loudon terombang-ambing, sehingga para penumpangnya ketakutan, khawatir kapal yang ditumpanginya akan karam.
Suasana bertambah mencekam. Di atas tiang kapal yang tinggi, bermunculan bunga-bunga api kecil warna biru. Kami menyebutnya api St. Elms. Menurut kepercayaan para pelaut, bila ada tanda-tanda itu, pertanda kapal akan tenggelam. Penumpang berusaha untuk memadamkan api namun gagal. Api muncul di tempat lainnya. Saat-saat yang mencemaskan. Menakutkan.
Di antara selang satu gempa dengan gempa berikutnya, suasana benar-benar mencekam. Sunyi. Dalam kehampaan itu, tak ada sesuatu yang bergerak, kecuali suara para narapidana yang diangkut dengan kapal kami. Mereka mendiami bagian depan kapal. Mereka dicekam oleh perasaan getir melihat kenyataan bencana. Tak henti-hentinya mereka berzikir, La ila ha Illallah. La ila ha Illallah. Terus bergema tiada henti.
Nirca Sultan Muda
Sultan Palembang mempunyai anak, sultan muda yang bernama Prabu Jain. Entah kenapa, sultan muda itu kemudian diasingkan oleh pemerintah kolonial ke suatu tempat. Dalam pengasingannya itulah Prabu Jain mengadakan hubungan terlarang dengan anak tirinya yang bernama Bunju.
Nirca (perbuatan yang melanggar hukum agama) sultan muda dengan anak tirinya itu diungkap oleh A.B. Lapian dari Lembaga Kebudayaan nasional-LIPI (1983).
Hubungan nirca itu diketahui Sultan Palembang bertepatan dengan bencana Krakatau yang tiada henti. Sultan percaya, penyebab bencana itu karena seorang gadis yang bernama Bunju, yang mengadakan hubungan terlarang dengan bapak tirinya yang bernama Prabu Jain. Agar bencana itu segera berhenti, maka Bunju harus segera dihukum mati.
Sovinisme laki-laki di kesultanan itu memang tidak adil. Perbuatan nirca dilakukan berdua, namun, yang harus menerima deritanya hanya seorang diri, yaitu Bunju. A.B. Lapian menulis, "Walau pun ada dua manusia yang melakukan perbuatan dosa dalam kisah percintaan gelap tersebut, si wanitalah yang dianggap sebagai "biang keladi perbuatan iblis" itu.
Melihat kenyataan itu, Residen Palembang (pejabat kolonial) segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan gadis malang tersebut. Sultan Palembang terus mendesak residen agar Bunju diserahkan kepadanya untuk dihukum mati agar bencana segera berakhir. Namun residen berketetapan hati bahwa Bunju harus diselamatkan. Sultan memberikan pilihan, karena Bunju tidak diserahkan, Bunju harus segera meninggalkan Palembang. Residen setuju, akhirnya Bunju diasingkan ke Kau, tempat yang berada di Pulau Halmahera.
Bunju yang telah menyimpan benih dari sultan muda harus berlayar sejauh + 2.500 km. untuk sampai di Kau yang berada dekat muara sungai Kau, di bagian utara Teluk Kau. Pulau Halmahera merupakan satu dari sekian puluh gugus pulau yang berada di tepian Samudra Pasifik.
Pulau Halmahera mempunyai deretan gunung, terlebih di bagian tengahnya. Dataran rendahnya hanya terdapat di sepanjang pantai, seperti yang terdapat di Kau seluas 15.000 ha. Pulau ini beriklim tropis dengan musim hujan berlangsung antara Desember-Maret. Selama musim hujan ini angin bertiup dari barat dan barat laut yang tidak teratur, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm per tahunnya. Pulau Halmahera termasuk pulau yang cukup menerima hujan bila dibandingkan dengan pulau-pulau di selatannya. Musim kemarau terjadi antara Mei-Oktober. Angin timur, tenggara, dan selatan yang kering meniup kawasan ini dengan suhu rata-rata 26,30 oC. Suhu puncaknya bisa mencapai 330 0C, dan terdingin mencapai 150 0C. Selama April-November terjadi musim pancaroba/peralihan.
Penduduk yang pertama kali datang di kawasan ini adalah keturunan ras Austro-Melanesia dan Proto Melayu. Suku halmahera adalah satu dari sedikitnya 43 suku bangsa yang ada di kawasan ini. Di sini setiap suku bangsa mempunyai bahasanya sendiri. Tak kurang dari 210 bahasa yang terdapat di sini, namun bahasa Halmahera cukup luas penyebarannya.
Rumah aslinya bertiang dengan atap daun sagu. Dindingnya terbuat dari gaba-gaba, tangkai daun sagu yang kuat.
Halmahera terkenal dengan hasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, dan kelapa. Perairan lautnya kaya rumput laut, ikan, udang, kerang, penyu, cumi-cumi, dan teripang. Sedangkan dari kebun petani dihasilkan jagung, ubi kayu, uji jalar, kacang tanah, sayuran, dan buah-buahan. Dari hutannya dihasilkan kayu meranti, kayu besi, kayu linggua, kayu goppasa, cendana, damar dan rotan. Pulau ini menyimpan banyak potensi bahan tambang, sepeprti minyak bumi, nikel, dan krom.
Di Pulau Halmahera itulah Bunju diasingkan. Tak ada kejelasan, apakah Bunju terus menetap di Kau, atau mendapatkan pengampunan sehingga bisa pulang ke Palembang?
Kalau masih di Halmahera, pasti Bunju sudah meninggal saat gugus kepulauan di tepian Samudra Pasifik ini dijadikan basis pertahanan tentara Jepang dan Sekutu saat berkecamuknya Perang Pasifik. Tak terkecuali di Kau. Di Pulau Morotai, misalnya, ada prajurit Jepang yang tertinggal sendirian. Ia bertahan hidup di hutan hujantropis dalam perasaan masih berperang. Saat ditemukan tahun 1980-an, Nakamura masih terus bertahan layaknya dalam situasi pertempuran.***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia

Thursday, August 10, 2006

Hati hati Kail dalam Ikan Kaleng


Kail dalam Ikan Kaleng
Saya membeli ikan Mackerel kalengan merek Botan A1 di toko Alfamart, Jalan Raya Serpong, Tangerang (16/6). Setibanya di rumah, saat itu juga ikan kalengan dibuka dan diolah untuk lauk santap malam. Pada saat makan malam bersama, istri saya mengunyah sesuatu benda keras. Rupanya tak terduga ia menggigit kawat pancing (kail) yang masih terikat benang senar sepanjang lebih kurang 2 sentimeter di dalam ikan yang disantapnya. Beruntung ujung kail yang lancip tidak melukai lidah atau menancap di mulutnya.
Kejadian itu membuat terkejut dan suasana makan menjadi tidak enak. Terlebih saat itu ada seorang teman yang ikut makan malam bersama dengan lauk yang sama. Saya menyimpan kail dan benang senar berikut kaleng bekas makanan tersebut, dengan harapan pihak produsen makanan itu dapat menginvestigasi masalah ini dan kemudian dapat menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi.
Seandainya dalam memasak konsumen diharuskan membelah-belah ikan yang disajikan supaya kail, benang senar, atau apa pun yang ada di dalam daging ikan dapat diketahui sebelum disantap, seharusnya peringatan itu dicantumkan di luar kaleng. Di bagian atas kaleng tertulis: MEI UC SJ 04/05 EXP 17 APR 2009. Di bagian sisi kaleng tercantum: Bahan-bahan: Ikan Mackerel, Saus tomat, Garam, Cornstarch. Diproduksi oleh: Maya Food Industries Pekalongan-Indonesia untuk PT Indo Maya Mas, Jakarta. Lisensi dari Mitsui Co., Ltd., Tokyo, Japan.
Saya yakin produk makanan kaleng semacam ini tak pantas mendapat lisensi dari Jepang atau dari negara mana pun. Atau tulisan tersebut sekadar tulisan yang tidak mencerminkan standar kontrol kualitas makanan yang ditetapkan? Sasongko Adiyono Kampung Kamurang Atas RT 04 RW 01, Paku Alam, Serpong, Tangerang

Monday, August 07, 2006

TEMBANG CIANJURAN


Saat ini, Tembang Cianjuran kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukkan kesenian pada acara-acara penyambutan tamu bagi masyarakat Sunda, seperti pernikahan ataupun khitanan. Alunan suara sekar (sinden) yang merdu diiringan instrumen kecapi dan suling membuat suasana lebih anggun, santun, khidmat dan penuh dengan ramah-tamah. Sehigga para tamu yang datang pasti akan hanyut terbawa suasana yang ada. Jika dikatakan Tembang Cianjuran adalah musik sunda yang memiliki warna musik begitu mempesona, anggun, lembut dan halus. Hal tersebut memang sangat erat hubungannya dengan cikal bakal dan perkembangan Tembang Cianjuran.Seni Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta rasa dan karsa Bupati Cianjur IX, R. Aria Adipati Kusumaningrat (1834-1861), atau lebih sering dikenal dengan sebutan “Dalem Pancaniti”. Namun dalam penyempurnaannya hasil ciptaannya tersebut, dalem Pancaniti dibantu oleh seniman kabupaten yaitu: Rd. Natawiredja, Aem dan Maing Buleng. Ketiga orang inilah yang kemudian mendapat izin Dalem Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu Cianjuran.Pada zaman pemerintahan R.A.A Prawiradiredja II (1861-1910), seni Tembang Cianjuran disempurnakan lagi aturannya. Dengan ditambah iringan suara kecapi dan suling, maka lahirlah Tembang Cianjuran yang dikenal sampai saat ini.Tembang Cianjuran pada awalnya merupakan musik yang penuh prestise para bangsawan. Oleh sebab itu, kehadiran Tembang Cianjuran pada awalnya diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Dan karena itu juga tempat pertunjukkannya selalu berada pada pendopo-pendopo kabupaten. Biasanya untuk acara-acara resmi penyambutan tamu bupati atau upacara-upacara resmi hari besar nasional.Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Tembang Cianjuran telah menjadi begitu akrab dimasyarakat. Tembang Cianjuran yang tadinya hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan, berkembang menjadi musik yang berakar pada tradisi kerakyatan. Kini, Tembang Cianjuran sangat mudah ditemui dalam acara pesta-pesta perkawinan masyarakat cianjur (Sunda).Penikmat Tembang Cianjuran memang tidak sebanyak jenis kesenian lain, seperti musik pop. Tetapi peminat dan penikmat Tembang Cianjuran cukup signifikan. Beberapa seniman seniman Tembang Cianjuran mengembangkan yang tidak terbatas lagi pada Kacapi Suling Tembang Cianjuran tetapi juga Kacapi Suling Pop Cianjuran.Meski ditelan badai modernasi Tembang Cianjuran termasuk jenis kesenian yang masih mendapat respon positif dari masyarakat global, kehadirannya diterima baik oleh semua pihak. Baik masyarakat lokal maupun internasional ikut serta melestarikan warisan budaya sunda ini. Buktinya, sampai saat ini masih banyak dijumpai para mahasiswa asing yang serius mempelajari kesenian Tembang Cianjuran. Beberapa diantaranya adalah mahasiswa berasal Amerika Serikat, Norwegia , Eropa, Jepang, dan negara Asia lainnya.Mempelajari Seni Sunda Tembang Cianjuran tidaklah terlalu sulit, walupun tidak semudah mempelajari Seni Sunda Angklung misalnya. Tingkat kesulitan mempelajari Tembang Cianjuran bergantung pada grade atau level saat mereka mencoba memainkan alat musik tersebut. Seorang pemula yang belum pernah sama sekali memainkan alat musik tembang kecapi suling cianjuran kira-kira akan memakan waktu 3-6 bulan untuk memainkan jenis musik yang diinginkan.Rasanya kurang pas jika seseorang hanya mempelajari bagaimana memainkan instrumen-instrumen dan olah vokal Tembang Cianjuran saja. Sebab seni ini memiliki kekayaan budaya yang tersimpan. Salah satunya adalah kandungan arti yang tersimpan di balik syair-syairnya. Dalam setiap syair-syairnya sang penikmat dapat menemukan sebuah vocal wisdom (kearifan vokal) berupa alam yang harmoni, keseimbangan, rendah hati, kasih sayang, kebijakan dll. Peminat Tembang Cianjuran dituntut untuk mengungkap pesan-pesan yang tersimpan dalam isi syairnya. Tembang Cianjuran kini menjadi pembeda di tengah hingar-bingar budaya pop yang semakin mengglobal.Tembang Cianjuran sangat kental dengan identitas kesundaannya. Akan sangat disayangkan bila para generasi muda mulai meninggalkan kesenian ini. Di tengah krisis kehilangan identitas bangsa ini, ada sebuah pertanyaan yang patut di kemukakan: Jika orang asing dengan serius mempelajari Tembang Sunda Cianjuran, masih adakah alasan bagi generasi muda untuk meninggalkannya?

SEBUAH RENUNGAN


Sebuah renungan bagi kita semua:Kalau anda tinggal di negara empat musim, maka pada musim gugur akan terlihat rombongan angsa terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf "V". Kita akan melihat beberapa fakta ilmiah tentang mengapa rombongan angsa tersebut terbang dengan formasi "V". Fakta: Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan "daya dukung" bagi burung yang terbang tepat di belakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perlu bersusah-payah untuk menembus 'dinding udara' di depannya. Dengan terbang dalam formasi "V", seluruh kawanan dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian.Pelajaran: Orang-orang yang bergerak dalam arah dan tujuan yang sama serta saling membagi dalam komunitas mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih cepat dan lebih mudah. Ini terjadi karena mereka menjalaninya dengan saling mendorong dan mendukung satu dengan yang lain. Fakta: Kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung di depannya. Pelajaran: Kalau kita memiliki cukup logika umum seperti seekor angsa, kita akan tinggal dalam formasi dengan mereka yang berjalan di depan. Kita akan mau menerima bantuan dan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri daripada melakukannya bersama-sama. Fakta: Ketika angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi, dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya. Pelajaran: Adalah masuk akal untuk melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama. Seperti halnya angsa,manusia saling bergantung satu dengan lainnya dalam hal kemampuan, kapasitas dan memiliki keunikan dalam karunia, talenta atau sumber daya lainnya. Fakta: Angsa-angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga. Pelajaran: Kita harus memastikan bahwa suara kita akan memberikan kekuatan. Dalam kelompok yang saling menguatkan, hasil yang dicapai menjadi lebih besar. Kekuatan yang mendukung (berdiri dalam satu hati atau nilai- nilai utama dan saling menguatkan) adalah kualitas suara yang kita cari. Kita harus memastikan bahwa suara kita akan menguatkan dan bukan melemahkan. Fakta: Ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut keluar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka. Pelajaran: Kalau kita punya perasaan, setidaknya seperti seekor angsa, kita akan tinggal bersama sahabat dan sesama kita dalam saat-saat sulit mereka, sama seperti ketika segalanya baik.

Sunday, August 06, 2006

SEJARAH CIANJUR


CianjurTiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber - sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 2 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kuku-kunya di tanah nusantara.Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 2 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu.Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi. Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).Dalem / Bupati Cianjur dari masa ke masa1. R.A. Wira Tanu I (1677-1691)2. R.A. Wira Tanu II (1691-1707)3. R.A. Wira Tanu III (1707-1727)4. R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761)5. R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776)6. R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813)7. R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)8. R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)9. R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)10. R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)11. R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)12. R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)13. R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)14. R. Sunarya (1932-1934)15. R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)16. R. Adiwikarta (1943-1945)17. R. Yasin Partadiredja (1945-1945)18. R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)19. R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)20. R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)21. R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)22. R. Akhyad Penna (1952-1956)23. R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)24. R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)25. R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)26. Letkol R. Rakhmat (1966-1966)27. Letkol Sarmada (1966-1969)28. R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)29. Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)30. Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)31. Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)32. Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1966)33. Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)34. Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006))35. Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)