Sunday, November 25, 2007

Sejarah Singkat Garut


Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendles dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila(indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.
Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".
Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
Kembali ke atas
Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.
Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
Kembali ke atas
Keadaan Umum Kota
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.
Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.
Kembali ke atas
Penetapan Hari Jadi Garut
Sebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA Kab. DT II Garut No. 11 Tahun 1981 tentang Penetapan Hari Jadi Garut yang diundangkan dalam Lembaran Daerah pada tanggal 30 Januari 1982, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut dipandang lebih tepat pada Tanggal 17 Maret 1813.
Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.
Dari berbagai penelusuran diketahui bahwa Bupati Adiwijaya dalam membuat kebijakan selalu meminta fatwa dari sesepuh yang diduga berkebudayaan Islam karena Suci berada di sekitar Godog, makam tokoh penyebar agama Islam. Bersumber pada tradisi tata perhitungan waktu masyarakat, diperkirakan bahwa panitia yang “ngabaladah” ibukota diperintahkan pada bulan Mulud sebagai bulan yang dianggap baik pada waktu itu. “Ngabaladah” tidak mungkin dilakukan pada tanggal 1 Mulud karena kepercayaan orang Sunda pada waktu itu adalah bahwa hari baik jatuh pada saat bulan purnama antara 12-14 Mulud. Karena, 12 mulud dianggap sebagai hari puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, maka yang paling diiyakini memungkinkan untuk “ngabaladah” adalah tanggal 14 Mulud. Menurut perhitungan waktu karya Roofer, hasil konversi tanggal 14 Mulud 1228 Hijriyah itu adalah tanggal 17 Maret 1913.

Friday, November 16, 2007

Hanya Perlu Satu Kata, Pasrah







(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh “rafats”, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Q.S. Albaqarah:197)
MENUNAIKAN ibadah haji tidak ada yang harus dikerjakan selain makan, minum, dan beribadah. Meski demikian, perjalanan rukun Islam ini sangat potensial menyebabkan stres. Oleh karena itu, hanya ada satu kata yang dapat mengatasinya, pasrah. Pasrah kepada Allah SWT.*WAKHUDIN/”PR”
PESAWAT take-off pukul 8.00 pagi. Tapi jam 1.00 dini hari, sudah hiruk pikuk. Jemaah yang sudah mulai mengantuk tak lagi bisa tidur. Petugas melalui pengeras suara yang bising meminta mereka naik ke dalam bus yang segera membawanya ke bandara. Pukul 2.00, semua jemaah satu kloter kelihatannya sudah naik ke dalam bus. Ketua kloter yang dibantu ketua rombongan menghitung jemaah satu per satu. Ternyata jumlahnya 449 jemaah, kurang 6 orang.
Maka para karom (ketua rombongan) segera mencari jemaah yang belum masuk ke dalam bus. Dua orang jemaah ditemukan di dalam WC asrama, tapi tidak dapat segera naik bus, karena masih buang hajat. Petugas pun menungguinya, sampai selesai. Sementara dua jemaah yang lain segera menaiki bus setelah mengisap sebatang rokok. Ketua kloter pun kembali menghitung mereka, dan jumlahnya tetap belum genap, masih kurang dua orang.
Para petugas kembali sibuk mencari mereka. Sebagian melakukan sweeping ke kamar-kamar jemaah. Tapi hasilnya nihil. Maka petugas segera mengumumkan kembali melalui pengeras suara meminta dua jemaah segera naik ke dalam bus yang sebentar lagi berangkat. Tapi lagi-lagi tidak ada jemaaah yang memasuki bus.
Sebagian jemaah kesal, sebagan lain uring-uringan, namun sebagian lain menikmati tidur di dalam bus. Beberapa waktu kemudian seorang kakek berusia 75 tahun pun datang dengan dituntut anaknya memasuki bus. Waktu pun terus berlalu, pukul 2.30. Ketua kloter kembali menghitung jemaahnya, namun lagi-lagi kurang satu orang. “Halo... halo...” kembali berkumandang. Ternyata, jemaah yang belum masuk adalah orang yang tadi ikut mencari jemaah yang belum datang. Jam 3.05 rombongan bus itu baru berangkat ke bandara dengan jumlah jemaah yang genap, 455 orang.
Pergi menunaikan ibadah haji memang berbeda dengan melancong pada umumnya. Mengunjungi Baitullah dituntut kekompakan rombongan dan kelompok terbang. Ketua kloter, tim pembimbing haji daerah (TPHD), tim pembimbing ibadah haji (TPIH), dan tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) yang dibantu sejumlah ketua rombongan dituntut bekerja keras mengoordinasikan jemaah. Satu saja jemaah yang ketinggalan atau mengalami peristiwa di luar dugaan, akan merepotkan semua jemaah. Oleh karena itu, sekadar naik ke dalam bus pun memakan waktu tiga jam lebih.
Padahal, bepergian biasa memerlukan waktu tak lebih dari satu jam untuk mencegat hingga naik bus. Bahkan satu jam untuk boarding pass sebelum terbang pun masih punya kesempatan jalan-jalan di bandara.
Saat berhaji sebetulnya jemaah sudah terbebas dari pekerjaan rutin kantor dan pekerjaan rumah. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, selain makan dan minum demi kesehatan serta beribadah. Meski demikian, peluang meningkatnya stres sangat tinggi. Bayangkan, naik bus saja memakan waktu tiga jam dan bertele-tele. Padahal, perjalanan yang penuh tekanan seperti itu berlangsung setiap hari selama sekitar 40 hari.
Setibanya di bandara, jemaah dituntut antre naik pesawat setelah sebelumnya mendapatkan pemeriksaan dokumen dan barang bawaan. Tentu, tidak semua jemaah familiar dengan bandara sehingga sering proses pemeriksaan ini memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau pemeriksaan dilakukan di bandara Arab Saudi, baik di Bandara Jeddah maupun Madinah. Soal bahasa senantiasa menjadi kendala dalam berkomunikasi.
Setelah istirahat di bandara, jemaah melanjutkan perjalanan ke Kota Madinah atau langsung ke Mekah bagi jemaah gelombang II. Akibat kelelahan perjalanan, jemaah biasanya semakin menurut saat mulai diberangkatkan ke kota suci ini. Namun saat sampai di pemondokan, keributan sangat potensial terjadi. Jemaah yang masih berusia muda kerap tidak mau mengalah untuk menempati pondokan di lantai bawah, sementara jemaah yang berusia lanjut terpaksa tinggal di kamar lantai atas. Para petugas kali ini dituntut memberikan pengertian kepada jemaah yang berusia muda untuk mengalah.
Tinggal di pemondokan Madinah relatif lebih bagus dan longgar ruangannya dibandingkan dengan di Mekah. Tentu saja, satu kamar yang dihuni 5 sampai 10 orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, meskipun bangunan pondokan tersebut setara dengan hotel berbintang. Kondisi pemondokan dapat menyebabkan jemaah bertengkar.
Soal antre menggunakan WC, memasak yang cocok untuk semua jemaah sekamar, pengaturan jam tidur dan tempat tidur, waktu berangkat ibadah ke Masjidilharam dan sebagainya sepertu kelihatan sepele. Namun demikian, banyak jemaah yang menjadikan masalah remeh temeh ini menjadi pemicu adu mulut.
Maka tidak heran kalau tiba-tiba kita baru tahu ada pasangan suami istri yang tidak melakukan tegur sapa lebih dari seminggu. Suami kadang ingin langsung pulang usai melaksanakan salat di masjid, sementara sang istri masih ingin berjalan-jalan ke toko untuk berbelanja. Kadang suami meminta bantuan membawakan barang tentengan, sementara istri yang menenteng beberapa tas menjawab dengan ketus.
Maka tidak mustahil, percekcokan pun terjadi antara suami istri, antara sesama penghuni kamar, antarkamar atau bahkan antar kloter. Tidak mustahil juga pertengkaran terjadi antara satu warga negara dengan warga negara yang lain. Peristiwa tabrakan maut di seputar Jumrah Aqabah beberapa tahun silam bermula dari tidak adanya pihak yang mengalah antara jemaah dari Afrika Selatan dengan jemaah lain dari Turki dan Pakistan.
Masalah hubungan seks antara suami dan istri kerap pula menjadi problem yang menyebabkan pasangan kehilangan keharmonisan. Melakukan hubungan intim dalam ruang terbatas yang kerap hanya disekat kain tentu tidak nyaman. Namun membiarkan suami atau istri tanpa hubungan seks menyebabkan pergaulan dalam perjalanan ini mengarah kepada konflik.
Belum lagi saat kita berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang tempat kemahnya terbatas. Saat menaikturunkan barang bawaan dari asrama ke bus atau sebaliknya, saat salat di masjid, saat berbelanja, dan semua kegiatan haji memungkinkan kita untuk stres. Apalagi kalau sampai jemaah mengalami kehilangan barang, uang, atau dokumen, atau kehilangan keluarga. Tekanan batin akan sedemikian dahsyat.
Menghadapi berbagai peristiwa seperi itu, hanya satu kata untuk menyelesaikannya, pasrah. Memasrahkan diri kepada Allah SWT. Kita harus segera berintrospeksi diri. Bukankah berhaji berarti menjadi tamu Allah? Sang Khalik tentu akan memperlakukan tamu-Nya sebagaimana tamunya bersikap. (Wakhudin/”PR”)***

Meninjau Pabrik Lexus di Kyushu


Walaupun bagi wartawan otomotif meninjau pabrik mobil adalah hal yang biasa dilakukan, undangan meninjau pabrik mobil sulit untuk dilewatkan. Secara teknis, pabrik mobil memang tidak jauh berbeda satu sama lain.
Keadaan yang sama juga muncul saat kunjungan ke Miyata Plant di Kyushu dilakukan pada tanggal 22 Oktober lalu. Kyushu terletak di barat daya Tokyo, yang jarak tempuhnya 1,75 jam penerbangan dari Tokyo. Produk Lexus yang diproduksi di Kyushu adalah IS350/IS250/IS220d, ES350, dan RX350/RX400h.
Seperti biasa, hampir di semua pabrik mobil, wartawan tidak diperkenankan membawa kamera. Di Miyata Plant pun keadaannya tidak jauh berbeda. Jikalau memerlukan foto-foto tentang produksi, pihak pabrik menyediakannya.
Acara pertama, para wartawan disuguhi film tentang bagaimana sebuah Lexus diproduksi. Dalam film itu, berulang kali ditekankan bahwa Lexus adalah mobil papan atas yang menggunakan material berkualitas tinggi serta dibuat dengan keterampilan dan cita rasa yang tinggi. Dan, sebelum keluar pabrik, setiap mobil diperiksa secara saksama oleh teknisi berpengalaman yang mengenakan sarung tangan putih. Teknisi berpengalaman, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan nama Takumi (Master), tidak melewatkan satu detail pun. Itu sebabnya moto yang digunakan Lexus, yakni The Pursuit of Perfection (Mengejar Kesempurnaan), sangatlah tepat.
Miyata Plant sangat memerhatikan hubungan yang baik antara pabrik dan karyawannya. Itu sebabnya warna interior dan eksterior pabrik dikoordinasikan untuk memberikan perasaan segar dan bersih. Sebagai bagian dari komitmen terhadap lingkungan kerja yang aman dan nyaman, semua gedung menggunakan penyejuk udara (AC) dan dilengkapi peredam suara.
Adapun untuk melindungi para pekerja, tugas-tugas yang mencakup pengangkatan benda-benda berat, perakitan, atau menimbulkan stres tinggi dikerjakan oleh robot atau mesin-mesin lain. Sistem baru dipasang untuk membantu pekerja berinteraksi dengan peralatan yang digunakannya secara lebih mudah dan efektif. Hasilnya pekerja perempuan dan pekerja yang telah berumur dapat melakukan tugasnya secara aman dan nyaman.
Pencetakan bagian-bagian bodi dilakukan dengan penggunaan teknologi terkini pada cetakan (mold) yang presisi untuk menghasilkan bagian-bagian bodi berkualitas tinggi.
Pengelasan yang dilakukan melalui pengecekan secara saksama terhadap kualitas mobil-mobil Lexus yang tinggi menjamin bahwa setiap panel di permukaan telah ditautkan secara sempurna.
Pengecatan yang menggunakan cat berbasis air menciptakan lingkungan kerja yang bersih. Proses pengecatan yang dilakukan oleh lengan-lengan robot yang dibungkus kain dan cat berbasis air dengan kualitas tertinggi digunakan agar cat itu tahan lama dan aman bagi lingkungan hidup. Dan, untuk membuat cat pada mobil itu berkualitas tinggi, maka cat dipoles dengan air sehingga permukaan sangat halus.
Perakitan yang menggunakan peralatan yang lengkap, bersih, dan mudah digunakan memungkinkan semua pekerja untuk menghasilkan kendaraan dengan kualitas tertinggi.
Semua mobil yang selesai dirakit dicek oleh teknisi berpengalaman dengan menggunakan standar perakitan, pemasangan, dan penyetelan yang tertinggi. Setelah itu barulah mobil dikirim ke dealer-dealer Lexus.
Mobil papan atas Toyota
Lexus adalah mobil papan atas buatan Toyota yang pada awalnya dibuat untuk pasar Amerika Serikat. Toyota ingin mengisi segmen sedan papan atas Amerika Serikat yang dikuasai oleh mobil-mobil Amerika dan Eropa. Namun, Toyota menyadari sepenuh bahwa mereka memerlukan sebuah merek baru, mengingat Toyota selama ini hanya dikenal sebagai perusahaan pembuat mobil papan tengah.
Itu sebabnya, di Toyota, pada tahun 1983, Pemimpin Toyota Motor Corporation Eiji Toyoda dan pejabat tinggi lainnya mengadakan pertemuan rahasia untuk menciptakan sedan papan atas. Pada bulan September 1984, proyek yang diberi nama dengan kode F1 (Flagship and No 1 Vehicle) dikerjakan.
Tahun 1986, Honda muncul dengan sedan papan atasnya yang diberi nama Acura. Sama seperti Toyota, Honda pun sadar bahwa Honda hanya dikenal sebagai perusahaan pembuat mobil papan tengah. Untuk mengisi segmen sedan papan atas Amerika, Honda memerlukan nama baru. Munculnya Acura langsung disambut oleh pasar.
Sukses Honda dengan Acura mendorong Toyota untuk mempercepat kemunculan Lexus. Pada tahun 1989, Toyota meluncurkan Lexus LS400 yang menggunakan penggerak roda belakang. Selintas sosok Lexus LS400 mirip Mercedes Benz S560 yang populer di Jepang.
Para petinggi Toyota mengungkapkan, Lexus itu merupakan kombinasi dari luxury dan elegance (mewah dan anggun). Namun, Lexus tidak mempunyai arti khusus, nama itu dipilih hanya karena mudah disebut dan gampang diingat.
Langkah Honda dan Toyota juga diikuti perusahaan pembuat mobil Jepang lainnya, yakni Nissan. Jika Honda muncul dengan Acura, dan Toyota mucul dengan Lexus, maka Nissan muncul dengan nama Infinity.
Toyota dan Lexus adalah dua mobil yang berbeda. Mulai dari material yang digunakan (baik eksterior maupun interior), kualitas pengerjaan, kualitas cat dan pemolesan, sampai pengecekan akhir.
Lexus yang awalnya hanya muncul dengan sedan, kemudian juga muncul dengan sport utility vehicle (SUV). Sama seperti sedannya yang muncul dengan beberapa model seperti LS, GS, ES, IS, dan belakangan juga CS (convertible/atap bisa dibuka tutup), SUV Lexus juga muncul dengan LX, GX, dan RX. (JL)

Wednesday, November 14, 2007

Silaturahmi Memperkaya Hati


Rasulullah saw। pernah memberikan nasihat kepada para sahabat, ”Hendaklah kalian mengharapkan kemuliaan dari Allah”. Para sahabat pun bertanya, ”Apakah yang dimaksud itu, ya Rasulullah? Beliau kemudian bersabda lagi, ”Hendaklah kalian suka menghubungkan tali silaturahmi kepada orang yang telah memutuskannya, memberi sesuatu (hadiah) kepada orang yang tidak pernah memberi sesuatu kepada kalian, dan hendaklah kalian bersabar (jangan lekas marah) kepada orang yang menganggap kalian bodoh” (H.R. Hakim).


Dalam hadis lain dikisahkan pula, ”Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” tanya Rasulullah saw. kepada para sahabat. ”Tentu saja,” jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, ”Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadis tersebut terlihat jelas, betapa pentingnya menyambungkan tali silaturahmi dan memperkuat nilai persaudaraan tersebut. Betapa tidak, dengan silaturahmi maka akan terjalinlah rasa kasih sayang sesama manusia. Bahkan, orang yang bersilaturahmi akan dipanjangkan umurnya, dalam arti namanya akan senantiasa diingat orang. Lebih dari itu, silaturahmi juga menjadi jalan bagi datangnya keluasan rezeki karena Allah.
Bila ini terjadi, maka rahmat dan kasih sayang Allah pun akan turun dan menaungi hidup kita. Sebaliknya, rahmat dan kasih sayang Allah akan menjauh bila tali silaturahmi sudah terputus di antara kita.
Demikianlah kita pahami bahwa silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT, sekaligus pembuka pintu rezeki. Membuka pintu rezeki bukan sekadar bermakna memperoleh harta atau keuntungan materi, melainkan lebih dari itu, memperoleh rezeki juga dapat diartikan memperoleh semangat baru, menambah input, memunculkan gagasan, memotivasi ibadah, dan memperkaya hati.
Pembaca yang budiman, pancaran cinta dan kasih yang tercermin dari hubungan yang dibangun secara intensif melalui silaturahni akan membawa setiap orang merasakan ketentraman hidup, kebahagiaan, kedamaian, dan merasakan keutuhan dirinya sebagai manusia. Karenanya Islam dengan teliti memandang segala aspek kehidupan sosial dengan menempatkan unsur cinta dan keharmonisan sebagai sarana pertemuan hati.
Oleh sebab itu, Islam secara tegas mengutuk segala hal yang dapat menciptakan permusuhan dan dapat menggoncangkan fondasi persatuan. Tentu hanya orang-orang yang memiliki sifat dan akhlak mulia yang dapat memenuhi syarat bagi tersemainya cinta dan persahabatan.
Ketahuilah, dunia berikut isinya diciptakan hanya untuk memuaskan jasad belaka. Akan tetapi, ketenteraman batin dan kebahagiaan hidup tak diberikan oleh Allah, kecuali kepada orang yang berhati bersih, qolbun saliim. Hati yang bersih selamat akan menjadi hati yang kaya. Kaya akan ingat kepada Allah, Sang Pencipta. Kaya akan keikhlasan sehingga tak diperbudak oleh pujian dan penghargaan makhluk.
Kaya akan kasih sayang sehingga tak sengsara diperbudak kedengkian dan kebencian, mudah untuk memaafkan dan membalas dengan kebaikan. Kaya akan rasa syukur sehingga tak lelah dijajah oleh sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, sangat bahagia dengan apa yang ada. Kaya akan keyakinan dengan jaminan Allah sehingga amat ringan dan senang mendermakan rezeki yang ada, tak tersentuh oleh kekhawatiran miskin yang membuatnya kikir.
Silaturahmi adalah cara efektif untuk meleburkan kebekuan hati. Keberhasilan dalam perilaku sosial berhubungan langsung dengan aturan-aturan moral yang harus mengikat setiap orang. Di samping itu, manusia telah diberi anugerah bakat-bakat dan kemampuan yang besar. Setiap orang memiliki daya untuk mengikuti kemurnian dan keutuhan kasih sayang. Kebutuhan terciptanya cinta kasih merupakan suatu sifat yang secara mendalam tertanam di dalam fitrah manusia, setiap orang memiliki kecondongan pada cinta dan keharmonisan hidup. Oleh karena itu, ia membenci kesendirian dan pengasingan.
Dalam mengarungi kehidupan, manusia memerlukan kebersamaan untuk bisa hidup tenteram dengan sesamanya. Sedemikian pentingnya kebersamaan ini sehingga Islam menganjurkan kepada manusia untuk memperbanyak menciptakan ruangan silaturahmi. Bahkan Rasulullah saw.menjanjikan dengan pahala berlipat ganda.
Dengan demikian, mulai saat ini, marilah kita menghubungkan silaturahmi dengan penuh keikhlasan hati sehingga kita semua dapat menuai manfaat dan keridaan-Nya. Wallahua'lam.***

Berhaji, Bawa Uang Berapa?




TIDAK semua jemaah yang menunaikan ibadah haji adalah orang kaya raya. Banyak dari mereka yang sejak usia muda menabung sedikit demi sedikit, dan baru dapat melunasi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) di usia tua. Oleh karena itu, mereka masih memusingkan uang bekal saat surat panggilan masuk asrama (SPMA) sudah di tangan.
SEORANG petugas di tempat penukaran uang memperlihatkan pecahan uang real di Jln. Otto Iskandar Dinata Kota Bandung, Rabu (14/11). Memasuki musim haji, penjualan real mengalami peningkatan.*ANDRI GURNITA/"PR"
Sebaliknya, terdapat beberapa jemaah yang termasuk aghniya. Mereka mampu menunaikan ibadah haji menggunakan biro perjalanan umum (BPU) plus. Maka selain di kantung celana, mereka juga menyimpan uangnya di tas tentengan, bahkan di dalam kopor-kopor pakaian. Tapi sesampainya di bandara Jeddah maupun Madinah, jemaah tersebut justru berurusan dengan keamanan bandara dalam waktu yang lama karena terlalu banyak membawa uang cash.
Lalu, jemaah mesti harus membawa uang berapa? Tentu saja jumlah uang yang harus dibawa sangat relatif, tergantung dari niat keberangkatan haji. Mereka yang menunaikan rukun Islam kelima dengan niat semata untuk ibadah tidak akan ambil pusing dengan jumlah uang yang harus dibawa. Di benaknya pasti hanya ada satu rasa, rindu bertemu dengan Sang Khalik, Allah SWT.
Sebagaimana kematian, bentuk lain pertemuan makhluk dengan Sang Maha Penciptanya, maka semua unsur duniawi ditinggalkan. Segala jenis perniagaan, tabungan, deposito, uang cash dolar, rupiah, euro, emas, intan dan berlian semua ditinggalkan. Manusia menghadap Allah hanya membawa dirinya yang berbalut kain kafan. Meski demikian, berhaji adalah pertemuan manusia dengan Sang Pencipta saat masih di dunia. Mungkin, kita masih memiliki kesempatan kembali ke tanah air, meskipun mungkin hanya nama kita yang pulang dalam catatan kematian.
Meski demikian, mungkinkah kita berangkat haji tanpa membawa uang sepeser pun? Mungkin, asalkan kita mampu mencapai kantor kabupaten/kota masing-masing secara gratis. Sebab, sebelum berangkat, jemaah berkumpul di pendopo kota atau kabupaten. Biaya ke tempat tersebut biasanya ditanggung masing-masing jemaah. Sementara dari pendopo ke asrama haji ditanggung panitia daerah.
Di asrama haji, semua biaya makan dan tempat tinggal ditanggung panitia pemberangkatan haji Indonesia (PPHI). Bahkan, di tempat ini, jemaah mendapatkan biaya hidup (living cost) sebesar RS 1.500 atau setara dengan Rp 3,75 juta. Uang inilah yang dapat digunakan sebagai bekal selama jemaah berada di kota suci. Kalau hanya digunakan untuk biaya makan dan minum --jika tidak berlebihan-- akan cukup hingga kembali ke tanah air.
Tidak disarankan berhemat dalam makan dan minum selama di Arab Saudi. Justru selama melaksanakan ibadah haji jemaah dianjurkan mengonsumsi makanan yang seimbang, bergizi, dan menyehatkan. Sebab, berhaji memerlukan kebugaran fisik yang prima. Mengurangi konsumsi air, demi penghematan misalnya, malah bisa jadi kita terserang dehidrasi.
Kalau hanya mengandalkan uang living cost, yang bisa dihemat adalah berbelanja oleh-oleh. Sama sekali tidak dianjurkan kita mengurangi makan dan minum selama di Saudi karena uangnya dibelanjakan untuk membeli buah tangan. Kalau ingin membeli berbagai souvenir, maka mau tidak mau, kita harus membawa uang tambahan di luar living cost.
Lalu, kalau membawa uang tambahan, harus membawa uang berapa? Soal ini juga relatif. Kalau di Saudi akan memborong emas, tentu kita membutuhkan ratusan juta rupiah. Tapi kalau sekadar membeli lima atau sepuluh sajadah, beberapa kilogram kurma, atau kacang khas Arab, tentu hanya dibutuhkan beberapa ratus ribu rupiah.
Tentu, membeli barang-barang seperti ini bukankah di tanah air juga banyak? Kualitasnya pun tidak kalah bagus. Tidak repot pula membawanya di jalan. Sementara kalau kita membeli di Saudi, barang-barang itu memenuhi koper, bahkan sering menumpuk di kamar-kamar tidur jemaah. Ditinggal salat pun kita was-was, masuk pesawat terkena charge. Kalau diteliti lebih seksama, barang-barang itu made ini China, sama dengan barang-barang yang kita beli di tanah air.
Pokoknya, dipakai atau tidak dibelanjakan, kita perlu membawa uang cadangan saat melaksanakan haji. Tapi uang itu dalam bentuk rupiah, dolar atau real? Uang apa pun di Saudi laku dibelanjakan, selama uang tersebut tidak dalam fluktuasi yang berat.
Ketika berbelanja di Saudi tentu kita menggunakan real. Namun uang rupiah atau dolar bisa ditukarkan di tempat penukaran uang, sharaf atau money exchanger, di Indonesia disebut money changer. Di asrama haji biasanya juga ada bank yang melayani penukaran uang ini.
Money exchanger di Saudi buka sebagaimana toko pada umumnya. Memang ada kantor yang besar, namun banyak pula yang buka sebagaimana lapak para pedagang kaki lima. Tak ada perbadaan harga yang mencolok antara penukar uang yang kecil dengan yang besar. Biasanya, pedagang tersebut duduk di atas kursi yang lebih tinggi dibandingkan para pedagang lainnya. Sebab, posisi di atas memungkinkan mereka memantau perkembangan mata uang dunia, sehinga mereka tidak menderita kerugian akibat fluktuasi mata uang.
Kalaupun tidak membawa uang cash, kita dapat menggunakan kartu kredit selama berbelanja di kota suci. Automatic teller machine (ATM) pun ada di beberapa tempat. Namun pedagang pada umumnya lebih suka menerima uang tunai daripada menggunakan kartu berbelanja. Apalagi jika mereka sedang marema, tentu dengan uang cash lebih praktis daripada harus menggesek-gesek kartu.
Sekali lagi, berhaji berarti kita menjadi tamu Allah (Dhuyufurahman). Tujuan kita adalah menghadap Allah sebagai hambanya-Nya yang taat. Kita datang bukan bertamu kepada swalayan, bukan pula tamunya barang bawaan. Selamat menunaikan ibadah haji. (Wakhudin/”PR”)***

Friday, November 09, 2007

"Bung Tomo" belum dapat "Gelar Pahlawan Nasional"


Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Pemuda (GP) Anshor dan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) meminta pemerintah menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Soetomo (Bung Tomo), tokoh pejuang pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan."Kita sangat terkejut ketika tahu, ternyata Bung Tomo tidak pernah diakui sebagai pahlawan oleh pemerintah selama ini," kata Ketua Umum GP Anshor, Saifullah Yusuf, di Jakarta, Jumat, saat memberikan penghargaan kepada Bung Tomo yang diterima anaknya, Bambang Sulistomo.Saat Bambang Sulistomo menerima piagam, ia mengatakan bahwa orangtuanya belum mendapat gelar pahlawan nasional, padahal pada piagam tersebut disebutkan bahwa diberikan kepada pahlawan nasional Bung Tomo.Saifullah mengatakan, peristiwa 10 November 1945 identik dengan perjuangan arek-arek Surabaya, dan peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari sosok Bung Tomo. "Bagi Anshor, Bung Tomo adalah pahlawan nasional, kita berharap pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada beliau," katanya.Sementara itu Ketua Fraksi Partai Golkar, Priyo Budisantoso, yang hadir pada acara tersebut akan mengetuk hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo seperti pejuang yang lain."Ada dosa kolektif yang harus kita tanggung, jika kita melupakan jasa besar Bung Tomo," katanya.Priyo mengatakan bahwa Fraksi Partai Golkar akan memperjuangkan, agar Bung Tomo diakui sebagai pahlawan nasional.Priyo mengatakan, jika selama ini tidak ada pihak yang mengusulkan hal tersebut maka Presiden sebaiknya mengambil alih inisiatif itu. Priyo juga akan menggalang dukungan dari fraksi lain, agar usul tersebut bisa tercapai.Priyo sebelumnya juga mengira Bung Tomo sudah diakui sebagai pahlawan nasional. "Ternyata, saya salah. Kalau alasannya keluarga tidak mengusulkan, maka itu bukan alasan yang tepat," katanya.Sedangkan, Bambang Sulistomo mengatakan, selama ini keluarganya memang tidak pernah berupaya mengusulkan kepada pemerintah, agar orang tuanya diakui sebagai pahlawan nasional.Menurut Bambang, sebelum meninggal pada 1981, Bung Tomo berwasiat, agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Alasannya, Bung Tomo menilai banyak tokoh yang ketika zaman kemerdekaan tidak ikut berjuang dan baru menampilkan diri setelah negara aman, dimakamkan di TMP.Bung Tomo juga mengatakan, menjadi pahlawan di mata rakyat jauh lebih berarti daripada gelar formal. Berangkat dari wasiat itu keluarga tidak mengusulkan Bung Tomo dianugerahi gelar pahlawan.Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945.Ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November 1945 itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Makkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel di Surabaya, Jawa Timur. (*)

Mahameru, ke Puncakmu Kami Menuju


Di kalangan para pendaki dan penggiat alam, Gunung Semeru atau biasa disebut Mahameru merupakan nama keramat. Maklumlah, selain cerita-cerita mistis melingkupi keberadaan gunung ini, juga karena cukup banyak para pendaki yang meninggal saat mendaki.
Bahkan, dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang gunung ini. Gunung Mahameru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung antara bumi (manusia) dan Kayangan.
Gunung ini juga dipercaya sebagai Bapak Gunung Agung di Bali. Setiap 8-12 tahun sekali dilakukan upacara sesaji di puncak Mahameru. Ada mitos, kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak Mahameru.
Di luar urusan metafisik, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3627 dpl) ini konon juga memiliki keindahan alam yang tiada dua. Tak heran, jika grup band ternama Dewa 19 sampai khusus membuat lagu untuk melukiskan kebesaran Mahameru.
Pada Sabtu pagi (5/6), akhirnya kami (anggota milis Pangrango) sampai juga ke sana, ke atap Pulau Jawa yang berada di wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dengan posisi geografis terletak antara 8°06 LS dan 120°55 BT.
* * *
Perjalanan diawali dari daerah Tumpang, sebuah kecamatan di Malang yang terletak di kaki Gunung Semeru.
Pendaki dari Jakarta bisa mencapai daerah Tumpang dari terminal Arjosari-Malang dengan waktu tempuh 30 menit menggunakan angkutan kota. Untuk melengkapi kebutuhan logistik, di pasar Tumpang kami sempatkan untuk berbelanja sayuran dan sejumlah bumbu masakan.
Tujuan selanjutnya adalah Desa Ranupani yang merupakan desa terakhir di kaki gunung Semeru. Para pendaki harus menggunakan jeep untuk sampai ke tempat ini. Ongkos carter jeep sebesar 200 ribu. Untuk menghemat, kami bergabung dengan rombongan pendaki lain sehingga masing-masing orang hanya mengeluarkan uang Rp 16 ribu.
Jeep yang kami tumpangi meninggalkan Tumpang sekitar pukul 13.30 WIB. Kami berhenti sebentar di pos pendaftaran Gubuk Klakah, karena demikianlah memang aturannya. Bahwa setiap pendaki harus mendaftarkan diri, membayar beaya asuransi Rp6.000, dan menyerahkan dua fotocopy KTP sebelum mendapatkan surat jalan.
Setelah membereskan urusan administrasi perjalanan, kami lanjutkan kembali. Di atas jeep yang bergoyang kencang kami menikmati keindahan panorama alam. Sementara di sisi kanan dan kiri kami adalah jurang yang cukup dalam dengan pepohonan yang rimbun. Nun di kejauhan, tampak tebing-tebing yang tinggi menjulang.
Ketika jeep melintasi beberapa desa, terlihat buah apel yang ditanam penduduk di pekarangan rumah mulai ranum. Hmm..., kedamaian khas yang biasa terpancar dari alam pedesaan nan sejuk.
Siang itu langit tampak cerah, namun angin yang dingin serasa menggigit hingga ke tulang. Mulailah kami berpegangan erat ke sisi-sisi jeep, ketika kendaraan buatan Inggris itu melonjak-lonjak oleh jalanan berbatu. Meski terasa ngeri, masih juga sesekali terdengar gelak tawa bila ada seorang teman terjatuh ke lantai karena genggamannya pada sisi bak jeep terlepas.
Setelah tiga jam perut terasa diaduk, kami pun sampai di desa Ranupani. Selanjutnya, setiap pendaki harus menyerahkan surat jalan dari pos Gubuk Klakah.
Kami mulai packing ulang barang bawaan dengan segera, karena rombongan dilarang mendaki selepas jam lima sore. Sebab, setelah lepas jam lima, kabut mulai turun dan akan mudah membuat pendaki tersesat.
Sebelum memulai pendakian kami berdoa sejenak. Tepat pukul lima, kami memulai perjalanan. Sepuluh menit berjalan, kami sudah sampai di batas ladang dan hutan.
Jalur selanjutnya mulai menanjak, cukup sebagai pemanasan sebelum kami sampai di gigir gunung yang kian curam. Selepas tanjakan, jalur mulai landai, cuaca yang mulai gelap membuat kami tidak dapat berjalan cepat, apalagi kami berjalan menyisir bukit dengan jurang yang dalam di sisi kanan. Ilalang liar menutupi jalur sampai setinggi dada, terkadang kami harus menunduk melewati pohon-pohon yang melintang, kami menyebutnya sebagai ’portal’.
Kabut yang turun malam itu cukup tebal, sehingga menurunkan uap air seperti gerimis. Kami sempat berhenti sebentar untuk menggunakan jas hujan. Beban berat di pundak dan cuaca dingin sempat menurunkan semangat kami. Terlebih, karena Danau Ranukumbolo yang menjadi tujuan berikut belum juga terlihat. Namun kami terus membulatkan tekad, bergantian kami menguatkan semangat anggota tim yang berjumlah lima orang perempuan dan satu laki-laki tersebut.
Setelah Danau Ranukumbolo, lalu Tanjakan Cinta
dok. pribadi
Tanjakan Cinta yang menguras fisikSetelah lima jam berjalan, akhirnya kami sampai di Danau Ranukumbolo. Cuaca dingin membekukan tulang. Dengan cepat kami mendirikan dua buah tenda sebelum akhirnya kami mesti buru-buru giliran mengganti pakaian kami yang kuyup oleh kabut dengan pakaian kering. Jika ini tak dilakukan, jelas kami akan mengalami hypotermia (kedinginan). Perut telah terisi, dan tiap anggota rombongan telah melapisi diri dengan penghangat badan, seperti jaket, sarung tangan, kaus kaki, kami pun segera meringkuk di dalam kantung tidur dan terlelap.
Ketika terbangun pada pukul delapan pagi, kami langsung keluar tenda. Kami berharap akan menemukan pesona Ranukumbolo di bawah sana dengan airnya yang berkilat-kilat di sepuh matahari pagi.
Namun...ah, Ranukumbolo ternyata masih berselimut kabut. Matahari nampak malu-malu dan memilih bersembunyi di balik awan. Sedikit gemetaran kami mencoba meluruskan kaki dan berjalan-jalan di sekitar danau.
Ranu Kumbolo yang membentang seluas 12 hektar, dikelilingi perbukitan yang hijau oleh rerumputan serta hutan cemara. Danau ini juga memiliki banyak ikan. Karenanya, banyak pendaki yang meluangkan waktu berlama-lama di danau ini sambil memancing.
Pada musim kemarau seperti Juli-Agustus-September cuaca di sekitar danau bisa mencapai minus lima derajat. Embun pagi akan berubah menjadi bunga-bunga es. Ah.. keindahan yang mematikan tentunya bagi mereka yang tak tahan dengan udara dingin.
Cuaca semakin hangat seiring menipisnya kabut di atas danau. Selesai makan dengan menu sup dari bahan sayuran serta bumbu yang kami beli di pasar Tumpang, perjalanan pun kami lanjutkan.
Langkah terasa berat karena kami harus melewati tanjakan yang cukup panjang dan tinggi. Percaya atau tidak, nama tanjakan ini adalah Tanjakan Cinta. Entahlah siapa yang awalnya memberi nama. Konon, bila kita mendakinya tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, segala keinginan kita soal percintaan akan tercapai. Tetapi ini tidak mudah. Cuma mereka yang memiliki fisik super-prima sajalah yang sanggup melakukan pekerjaan itu dengan sempurna: berjalan tegak mendaki bukit tanpa menoleh ke belakang.
Sesampainya di puncak bukit, segera terlihat pepohonan yang rimbun. Tempat ini cocok untuk melepas lelah setelah melewati tanjakan cinta. Pemandangan terhampar indah dengan Ranukumbolo yang selalu dipayungi kabut. Di arah depan, savana luas dengan perbukitan gundul di sekililingnya. Itulah Savana Oro-oro Ombo.
Titik selanjutnya yang ingin kami capai adalah Kalimati. Jalur setelah Oro-oro Ombo cukup bervariasi. Terkadang landai melewati tanah berdebu, lalu menanjak, sebelum akhirnya memasuki hutan cemara yang berpohon tinggi namun berdaun jarang sehingga panas matahari tetap mengenai kulit.
Menjelang Kalimati kami sampai di Blok Jambangan. Dari sini puncak Mahameru terlihat jelas dengan jalurnya yang berpasir. Kami melepas penat di tempat ini sambil menunggu letusan wedhus gembel. Di Jambangan ini banyak terdapat tumbuhan eidelweis karena sudah berada pada ketinggian 3200 dpl.
Kami membuka tenda di lembah Kalimati dengan pertimbangan lebih dekat ke mata air selain itu di Arcopodo banyak pendaki yang sudah tiba terlebih dahulu sehingga kami khawatir tidak ada tempat kosong untuk tenda kami. Jika beruntung di Kalimati ini kita bisa melihat binatang liar seperti macan.
Mahameru, ke puncakmu kami menuju
dok. pribadi
Di puncak Mahameru dengan latar belakang wedhus gembelKami agak terlambat menuju puncak, karena baru berangkat pukul dua pagi. Idealnya untuk pendaki yang berangkat dari Kalimati adalah sekitar pukul 12 malam. Setelah membawa perbekalan secukupnya seperti air minum dan makanan kecil, kami berjalan menuju Arcopodo. Untunglah saat itu bulan terang bersinar sehingga kami cukup terbantu melihat jalur yang curam dan rawan longsor tersebut.
Arcopodo berada pada ketinggian 2.900 dpl, merupakan batas vegetasi. Sehabis ini tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. Yang ada hanya pasir dan bebatuan saja, kecuali satu pohon cemara yang disebut Cemoro Tunggal. Dinamakan Arcopodo karena dulu ada dua buah arca, Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun sayang, arca-arca itu kini telah hilang.
Selepas Arcopodo, kami sampai di batas hutan yang bernama daerah Kelik. Di daerah ini banyak terdapat batu peringatan korban yang meninggal di Mahameru. Kami memandang ke arah atas, tampak lampu-lampu senter beriringan milik para pendaki yang telah berangkat lebih awal.
Dalam dinginnya udara, kami melanjutkan pendakian mendaki lereng Semeru yang berpasir dengan kemiringan 50-60 derajat. Pendakian menuju puncak benar-benar menguras fisik dan mental kami. Oleh karena itu kami harus pintar-pintar memilih pijakan kaki jika tidak ingin terperosok ke dalam jurang. Tenaga kami kerahkan ketika berjalan di pasir karena setiap tiga langkah pasti mundur selangkah. Hanya mereka yang bermental kuat yang dapat menaklukkan Puncak Mahameru.
Pukul delapan pagi, kami tiba di Puncak Mahameru. Rasa haru menyelimuti, sujud syukur kami lakukan kepada Tuhan Sang Pencipta atas keindahan yang terdapat di sekeliling kami. Di antara gumpalan-gumpalan awan tampak puncak-puncak gunung di sekitar Mahameru. Di timur terlihat pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Di arah barat berdiri angkuh puncak Gunung Arjuna, Welirang, Anjasmoro dan Gunung Kawi. Bagian Selatan, Gunung Bromo dengan pesona kawahnya yang selalu mengeluarkan cahaya putih. Lebih ke Selatan, terlihat deburan ombak Laut Selatan. Bagian Utara, bentangan samudera terlihat lebih dekat lagi, buih putih ombaknya begitu jelas dari tempat kami berdiri.
Suara letupan tiba-tiba terdengar diiringi gumpalan asap pekat bercampur debu yang di kalangan pendaki disebut wedhus gembel. Peristiwa ini memang yang paling kami tunggu. Cepat kami keluarkan kamera untuk mengabadikannya. Kami begitu menikmati suasana di puncak, melihat keindahan Pulau Jawa. Namun keinginan untuk berlama-lama harus pupus karena di atas pukul 10 pagi, letusan mahameru akan disertai gas beracun yang dapat membuat pendaki mati lemas.
Jalur turun sampai Kelik kami tempuh kurang dari satu jam. Suatu keasyikan tersendiri melewati pasir sambil berlari-lari kecil seperti sedang main ski. Kami berlomba untuk lebih dulu sampai di bawah.
Sampai di Kalimati kami langsung makan dan packing karena kami ingin meneruskan perjalanan langsung ke Ranupani mengingat waktu cuti yang terbatas. Perasaan puas dan bahagia karena telah mencapai atap Pulau Jawa membuat semangat kami timbul kembali, sehingga perjalanan pulang terasa lebih ringan.
Tim sempat melepas lelah cukup lama di Oro-oro Ombo. Sore itu suasana savana memang cantik dengan sinar matahari yang berpendar dari balik bukit, rasa penat sekejap hilang menyaksikan rumput-rumput liar dan bunga-bunga ungu bergoyang seirama angin senja.
Puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan melewati Ranukumbolo yang sore itu ramai dengan tenda-tenda para pendaki yang memilih menginap semalam lagi ditempat itu. Mengingat cuaca makin gelap kami percepat langkah kami.
Sekitar pukul 12 malam rombongan sampai di Ranupani dan langsung memesan kamar untuk beristirahat. Pagi sebelum pulang kami menyempatkan diri menikmati keindahan danau Ranupani yang terletak tepat di depan guesthouse. Siang itu kami kembali berada di atas jeep yang mengantar kami sampai ke Tumpang, untuk selanjutnya meneruskan pulang ke Jakarta.
Meski tinggal bayang-bayang, kenangan atas Mahameru tetap menjadi kenangan yang tiada pernah akan terlupa, sepanjang hayat! (Lusia Kus Anna)

Pendaki Semeru Tersesat di Jalan Menuju Surga




MASIH ingat tragedi meninggalnya aktivis mahasiswa Soe Hok Gie di ketinggian 3.676 Puncak Mahameru pada 16 Desember 1969 silam? Turut pula tewas Idham Lubis, keduanya anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Pada bulan yang sama tahun ini, di mana para pendaki menuai badai, seorang pencinta alam "lepasan" warga Manggarai RT 10 RW 04 Jakarta Selatan, dinyatakan hilang. Daris menjadi korban ke-50 dari keganasan alam Gunung Semeru.
Di Arcopodo, sekitar 1,5 kilometer sebelum menuju Puncak Mahameru, ada sekitar 12 prasasti untuk memperingati para pendaki yang tewas. Mereka seakan telah menjadi pahlawan bagi diri sendiri. Menaklukkan Semeru ibarat menaklukkan rasa takut yang bersemayam dalam diri seorang pendaki. Maka ketika tiba di Puncak Mahameru, surga itu seperti dalam genggaman, di mana awan-awan bisa direngkuh. Percikan batuan vulkanik dari Kawah Jonggring Saloka, seperti kewajiban lain dari perut Semeru.
Salah satu prasasti yang dipancang para pendaki dikhususkan buat Soe Hok Gie dan Idham Lubis. Hok Gie ditemukan tewas di Puncak Mahameru. Sampai kini penyebab kamatiannya tetap misteri, seperti teka-teki yang saban waktu dimainkan Semeru.
Soe Hok Gie mejadi korban pertama yang tercatat dalam sejarah pendakian Semeru, seperti yang tersimpan di Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Dalam daftar kecelakaan pendakian itu tercatat 50 orang yang pernah tertimpa musibah. Dari jumlah itu, 24 orang dinyatakan tewas, dua orang hilang, 10 orang luka-luka, dan empat orang selamat.
Padahal Semeru telah dijejaki oleh seorang warga Belanda, Clignet, pada tahun 1838 melalui lereng baratdaya di Widodaren. Tahun 1911 Semeru juga pernah didaki oleh Van Gogh dan Heim dari lereng utara. Selanjutnya, ahli botani Belanda lainnya, Junhuhn, tahun 1945 mendaki Semeru dari lereng utara lewat Gunung Ayeg-ayeg, Gunung Ider-ider, dan Gunung Kepolo. Sejak tahun 1945, jalur pendakian Semeru selalu melalui lereng utara lewat Ranupane, Ranu Kumbolo, dan Arcopodo. Sejarah itu tidak mencatatkan kecelakaan-kecelakaan yang pernah terjadi saat-saat pendakian Semeru itu.
***
MALAM hari, jika berada tepat di bawah lereng, Semeru adalah misteri. Ia seperti raksasa tinggi dan gelap. Para pendaki sering menyebut lereng Semeru sebagai "jalan menuju surga". Daerah ini terdiri dari alur berpasir yang terbentuk dari bongkahan lahar beku. Dengan kemiringan antara 60-80 derajat serta kontur tanah yang berpasir, lereng itu hanya baik didaki pada malam hari.
Maka, para pendaki biasanya berangkat dari perkemahan terakhir di Kalimati sekitar pukul 01.00. Para pendaki biasanya mencapai Puncak Mahameru sekitar tiga sampai empat jam kemudian.
Pimpinan SAR Malang Andy Susetyo mengungkapkan, umumnya para pendaki justru tersesat "setelah turun dari tangga surga". "Umumnya, turun memang lebih mudah daripada naik. Karena itu, banyak pendaki yang meremehkan lereng-lereng Semeru saat turun," katanya.
Padahal, katanya, sebagian besar pendaki ditemukan tertimpa musibah di lereng-lereng antara puncak dan daerah Arcopodo. Jaraknya hanya sekitar 1,5 kilometer, "Tetapi harus menuruni tebing sekitar 70 derajat," ujar Susetyo. Jika sedikit tersesat, maka di kanan-kiri tebing curam menghadang. Seorang pendaki yang menyadari dirinya tersesat, secara psikologis akan terpukul karena melihat punggung jalan konvensional sudah tinggi sekali. "Mereka umumnya tak punya cukup tenaga untuk naik kembali, maka memilih jalan terus. Padahal, tak ada jalan keluar. Maka banyak korban kita temukan di lereng-lereng itu," kata Susetyo.
Diperkirakan, Daris juga tersesat di lereng ini. Menurut cerita rekan satu tim pendaki, Arif, saat ia buang air kecil di Puncak Mahameru pada 20 Desember 2001, Daris telah mendahuluinya turun. Arif mengatakan, sekitar 10 menit ia tak bisa lagi melihat sosok Daris. Hilangnya Daris baru dilaporkan pada 21 Desember 2001 di perhentian Ranupane.
Kepala Balai TNBTS Herry Subagiadi menduga, faktor ketersesatan para pendaki selain karena cuaca, juga kemungkinan disebabkan oleh hilangnya rambu-rambu. "Setiap tahun dua kali kami ganti rambu, tetapi hilang lagi," katanya.
Dalam tahun 2001, sejak Januari sampai November 2001 lereng Semeru tak kurang didaki oleh 8.553 orang. Dan sejak empat tahun terakhir, umumnya para pendaki datang dengan tujuan berekreasi. "Banyak yang tidak memahami tata cara pendakian dan karakteristik Gunung Semeru," katanya.
Oleh karena itulah, pihaknya telah merencanakan untuk mewajibkan penggunaan pemandu, jika ingin mendaki Semeru. "Saya kira cara ini cukup aman untuk meminimalkan kecelakaan karena tersesat di Semeru," kata Herry.
Puncak gunung tertinggi di Jawa itu ibarat surga lain. Celakanya, menurut pengakuan para pendaki, umumnya mereka yang tiba-tiba melamun di Puncak Mahameru, cenderung tersesat saat menuruni lereng. Panorama dari sini, di ketinggian ini, sungguh luar biasa. Beberapa puncak gunung di Jawa berderet dan kita berada di atasnya. Sungguh sebuah sihir: bahwa kita telah menaklukkan dunia. Dalam kondisi eforia, seringkali pertimbangan rasional terlupakan.
Barangkali Daris kini sedang berada dalam puncak kesendiriannya. Di atasnya berdiri menjulang raksasa hitam yang baru saja ia taklukkan. Di lereng-lereng dengan kecuraman sampai 100 derajat itu, mungkin Daris terus berhitung akan tiba atau tidak. Ia sedang menghadapi teka-teki Semeru yang sepenuh-penuhnya masih misteri. (Putu Fajar Arcana)

Sunday, November 04, 2007

Rahasia Rumah Kecil Yudhoyono


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tips bagi masyarakat yang tinggal di Rumah Sederhana Sehat (RSH) --yang berukuran kecil. "Rumah kecil itu bisa menjadi indah jika dibuat indah. Jadi rumah yang manis dengan ditanami pohon, dan bisa lebih hijau dan sejuk. Dengan demikian, jika hati kita berseri, akan menambah kebahagiaan," kata Presiden Yudhoyono, saat meresmikan pembangunan 100.000 unit RSH yang dipusatkan di kawasan perumahan Citra Indah, Jonggol, Bogor, Jawa Barat, Kamis pekan lalu.Presiden Yudhoyono lantas mengisahkan pengalamannya, saat masih bertugas di dinas militer dengan pangkat Letnan TNI. "Ada rahasia dalam kehidupan saya," katanya, di hadapan ratusan anggota Real Estat Indonesia (REI), dan warga sekitar perumahaan Citra Indah, Jonggol itu. "Dulu saya juga pernah tinggal di rumah tipe-21 berdinding gedeg (anyaman bambu) di Dayeuhkolot, Bandung, setelah naik pangkat menjadi Letnan TNI. Ketika sudah Kapten, pindah ke Baleendah yang lokasinya juga di Bandung, menghuni rumah tipe-45," ungkapnya, sebagaimana dilansir kantor berita Antara."Beberapa tahun kemudian, berkat imbauan dari Menpera (Menteri Perumahan Rakyat Cosmas Batubara), saya mengangsur rumah tipe-70 di kawasan Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Nyicil sampai lunas," kata Presiden Yudhoyono, bersemangat.Kisah yang disampaikan Presiden Yudhoyono tersebut merupakan sebagian dari suka duka hidupnya, jauh sebelum dirinya menjadi Kepala Negara. Ia kini tinggal di Istana Negara dan memiliki rumah pribadi berukuran relatif besar dan mewah di Puri Indah, Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Presiden Yudhoyono menggambarkan, rumah tipe-21 memang kecil, karena hanya terdiri atas kamar depan, kamar tengah dan dapur. "Kalau berlari, satu detik sudah sampai di bagian belakang rumah," kata Presiden, disambut derai tawa hadirin.Kendati demikian, menurutnya, rumah kecil itu juga membawa keuntungan. "Kalau rumahnya 1.000 meter, bikin kopi di dapur dan kalau dibawa ke ruang depan pasti sudah dingin. Beda, kalau rumah kecil kopinya tetap panas terus," ujar Presiden Yudhoyono, yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin.Jadi, Yudhoyono berpesan, meski punya rumah kecil, jangan sampai berkecil hati, karena ada juga segi baiknya, yaitu keluarga bisa tiap saat bertemu sehingga makin akrab. "Karena itu, saya minta penghuni rumah sederhana di seluruh Indonesia, mari jadikan lingkungan perumahan tempat kita tinggal berseri dengan menanam pohon. Bayangkan kalau tinggal di kawasan perumahan yang gersang, kering, berdebu, kotor, yang kemungkinan besar bisa menyebabkan hati para penghuninya ikut kotor dan gersang," jelas Presiden Yudhoyono.Untuk itu, Kepala Negara tidak segan-segan mengajak seluruh masyarakat dan penghuni kawasan perumahan untuk menerapkan motto `Berseri` yaitu Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. "Kalau `Berseri`, ayah, ibu, dan putra-putrinya, tenteram. Pekerjaan suami lancar, sehingga Insya Allah rezeki akan bertambah," pungkasnya. [EL, TMA]