Friday, November 16, 2007

Hanya Perlu Satu Kata, Pasrah







(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh “rafats”, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Q.S. Albaqarah:197)
MENUNAIKAN ibadah haji tidak ada yang harus dikerjakan selain makan, minum, dan beribadah. Meski demikian, perjalanan rukun Islam ini sangat potensial menyebabkan stres. Oleh karena itu, hanya ada satu kata yang dapat mengatasinya, pasrah. Pasrah kepada Allah SWT.*WAKHUDIN/”PR”
PESAWAT take-off pukul 8.00 pagi. Tapi jam 1.00 dini hari, sudah hiruk pikuk. Jemaah yang sudah mulai mengantuk tak lagi bisa tidur. Petugas melalui pengeras suara yang bising meminta mereka naik ke dalam bus yang segera membawanya ke bandara. Pukul 2.00, semua jemaah satu kloter kelihatannya sudah naik ke dalam bus. Ketua kloter yang dibantu ketua rombongan menghitung jemaah satu per satu. Ternyata jumlahnya 449 jemaah, kurang 6 orang.
Maka para karom (ketua rombongan) segera mencari jemaah yang belum masuk ke dalam bus. Dua orang jemaah ditemukan di dalam WC asrama, tapi tidak dapat segera naik bus, karena masih buang hajat. Petugas pun menungguinya, sampai selesai. Sementara dua jemaah yang lain segera menaiki bus setelah mengisap sebatang rokok. Ketua kloter pun kembali menghitung mereka, dan jumlahnya tetap belum genap, masih kurang dua orang.
Para petugas kembali sibuk mencari mereka. Sebagian melakukan sweeping ke kamar-kamar jemaah. Tapi hasilnya nihil. Maka petugas segera mengumumkan kembali melalui pengeras suara meminta dua jemaah segera naik ke dalam bus yang sebentar lagi berangkat. Tapi lagi-lagi tidak ada jemaaah yang memasuki bus.
Sebagian jemaah kesal, sebagan lain uring-uringan, namun sebagian lain menikmati tidur di dalam bus. Beberapa waktu kemudian seorang kakek berusia 75 tahun pun datang dengan dituntut anaknya memasuki bus. Waktu pun terus berlalu, pukul 2.30. Ketua kloter kembali menghitung jemaahnya, namun lagi-lagi kurang satu orang. “Halo... halo...” kembali berkumandang. Ternyata, jemaah yang belum masuk adalah orang yang tadi ikut mencari jemaah yang belum datang. Jam 3.05 rombongan bus itu baru berangkat ke bandara dengan jumlah jemaah yang genap, 455 orang.
Pergi menunaikan ibadah haji memang berbeda dengan melancong pada umumnya. Mengunjungi Baitullah dituntut kekompakan rombongan dan kelompok terbang. Ketua kloter, tim pembimbing haji daerah (TPHD), tim pembimbing ibadah haji (TPIH), dan tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) yang dibantu sejumlah ketua rombongan dituntut bekerja keras mengoordinasikan jemaah. Satu saja jemaah yang ketinggalan atau mengalami peristiwa di luar dugaan, akan merepotkan semua jemaah. Oleh karena itu, sekadar naik ke dalam bus pun memakan waktu tiga jam lebih.
Padahal, bepergian biasa memerlukan waktu tak lebih dari satu jam untuk mencegat hingga naik bus. Bahkan satu jam untuk boarding pass sebelum terbang pun masih punya kesempatan jalan-jalan di bandara.
Saat berhaji sebetulnya jemaah sudah terbebas dari pekerjaan rutin kantor dan pekerjaan rumah. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, selain makan dan minum demi kesehatan serta beribadah. Meski demikian, peluang meningkatnya stres sangat tinggi. Bayangkan, naik bus saja memakan waktu tiga jam dan bertele-tele. Padahal, perjalanan yang penuh tekanan seperti itu berlangsung setiap hari selama sekitar 40 hari.
Setibanya di bandara, jemaah dituntut antre naik pesawat setelah sebelumnya mendapatkan pemeriksaan dokumen dan barang bawaan. Tentu, tidak semua jemaah familiar dengan bandara sehingga sering proses pemeriksaan ini memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau pemeriksaan dilakukan di bandara Arab Saudi, baik di Bandara Jeddah maupun Madinah. Soal bahasa senantiasa menjadi kendala dalam berkomunikasi.
Setelah istirahat di bandara, jemaah melanjutkan perjalanan ke Kota Madinah atau langsung ke Mekah bagi jemaah gelombang II. Akibat kelelahan perjalanan, jemaah biasanya semakin menurut saat mulai diberangkatkan ke kota suci ini. Namun saat sampai di pemondokan, keributan sangat potensial terjadi. Jemaah yang masih berusia muda kerap tidak mau mengalah untuk menempati pondokan di lantai bawah, sementara jemaah yang berusia lanjut terpaksa tinggal di kamar lantai atas. Para petugas kali ini dituntut memberikan pengertian kepada jemaah yang berusia muda untuk mengalah.
Tinggal di pemondokan Madinah relatif lebih bagus dan longgar ruangannya dibandingkan dengan di Mekah. Tentu saja, satu kamar yang dihuni 5 sampai 10 orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, meskipun bangunan pondokan tersebut setara dengan hotel berbintang. Kondisi pemondokan dapat menyebabkan jemaah bertengkar.
Soal antre menggunakan WC, memasak yang cocok untuk semua jemaah sekamar, pengaturan jam tidur dan tempat tidur, waktu berangkat ibadah ke Masjidilharam dan sebagainya sepertu kelihatan sepele. Namun demikian, banyak jemaah yang menjadikan masalah remeh temeh ini menjadi pemicu adu mulut.
Maka tidak heran kalau tiba-tiba kita baru tahu ada pasangan suami istri yang tidak melakukan tegur sapa lebih dari seminggu. Suami kadang ingin langsung pulang usai melaksanakan salat di masjid, sementara sang istri masih ingin berjalan-jalan ke toko untuk berbelanja. Kadang suami meminta bantuan membawakan barang tentengan, sementara istri yang menenteng beberapa tas menjawab dengan ketus.
Maka tidak mustahil, percekcokan pun terjadi antara suami istri, antara sesama penghuni kamar, antarkamar atau bahkan antar kloter. Tidak mustahil juga pertengkaran terjadi antara satu warga negara dengan warga negara yang lain. Peristiwa tabrakan maut di seputar Jumrah Aqabah beberapa tahun silam bermula dari tidak adanya pihak yang mengalah antara jemaah dari Afrika Selatan dengan jemaah lain dari Turki dan Pakistan.
Masalah hubungan seks antara suami dan istri kerap pula menjadi problem yang menyebabkan pasangan kehilangan keharmonisan. Melakukan hubungan intim dalam ruang terbatas yang kerap hanya disekat kain tentu tidak nyaman. Namun membiarkan suami atau istri tanpa hubungan seks menyebabkan pergaulan dalam perjalanan ini mengarah kepada konflik.
Belum lagi saat kita berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang tempat kemahnya terbatas. Saat menaikturunkan barang bawaan dari asrama ke bus atau sebaliknya, saat salat di masjid, saat berbelanja, dan semua kegiatan haji memungkinkan kita untuk stres. Apalagi kalau sampai jemaah mengalami kehilangan barang, uang, atau dokumen, atau kehilangan keluarga. Tekanan batin akan sedemikian dahsyat.
Menghadapi berbagai peristiwa seperi itu, hanya satu kata untuk menyelesaikannya, pasrah. Memasrahkan diri kepada Allah SWT. Kita harus segera berintrospeksi diri. Bukankah berhaji berarti menjadi tamu Allah? Sang Khalik tentu akan memperlakukan tamu-Nya sebagaimana tamunya bersikap. (Wakhudin/”PR”)***

No comments: